Nationalgeographic.co.id—Serangkaian lima jejak tangan dan lima jejak kaki simetris ditemukan di desa Quesang, sekitar 80 km barat laut Lhasa di Tibet, di anak sungai Xiong Qu. Jejak-jejak tersebut berasal dari antara 169.000 dan 226.000 tahun yang lalu (periode Pleistosen tengah) dan mungkin merupakan karya seni tertua. Hasil temuan tersebut telah dirincikan dan dipublikasikan di jurnal Science Bulletin baru-baru ini.
Temuan tersebut, menurut peneliti, tampaknya sengaja ditempatkan di permukaan travertine lunak, batu kapur air tawar yang diendapkan oleh air dari mata air panas yang sekarang tidak aktif. Saat travertine mengalami lithifikasi atau proses dimana sedimen baru yang terurair perlaha-lahan berubah menjadi batuan sedimen, jejak tersebut terawetkan.
Untuk diketahui, travertine merupakan salah satu bentuk batu kapur yang didepositkan oleh mata air mineral, terutama air panas. Batu alam ini dibentuk oleh alam melalui proses pengendapan kalsium karbonat. Travertine kerap ditemui di mulut sumber air panas atau di gua kapur.
“Pertanyaannya adalah: Apa artinya ini? Bagaimana kita menafsirkan cetakan ini? Mereka jelas tidak sengaja ditempatkan, ”kata rekan penulis Thomas Urban, seorang peneliti di Department of Classics di Cornell University kepada Cornell Chronicle.
Urban mengatakan, sisi yang menarik dari temuan tersebut adalah jejak tersebut sangat tua dan bisa jadi karya seni tertua yang diketahui hingga saat ini. “Tidak ada penjelasan utilitarian untuk ini. Jadi, apa itu? Sudut pandang saya adalah, dapatkah kita menganggap ini sebagai perilaku artistik, perilaku kreatif, sesuatu yang sangat manusiawi," katanya.
Menurut peneliti, berdasarkan ukuran jejak tangan dan kaki, para peneliti mengusulkan bahwa dua pembuat jejak terlibat dan kemungkinan besar adalah anak-anak. “Fakta bahwa panel tersebut menyertakan sidik jari memberikan satu petunjuk,” kata para peneliti.
Baca Juga: Sains Terbaru, Gambar Cadas Kontroversial Ini Dilukis oleh Neanderthal
Meski demikian, faktanya, sidik jari jarang menjadi catatan manusia meski jejak kaki banyak ditemukan. "Kehadiran mereka menghubungkan panel Tibet dengan tradisi seni parietal — yaitu seni yang tidak bergerak — yang ditandai dengan stensil tangan di dinding gua," jelas peneliti.
Para ilmuwan berhipotesis bahwa anak yang membuat jejak kaki itu berusia sekitar 7 tahun dan anak yang membuat sidik jari berusia sekitar 12 tahun.
"Penemuan luar biasa ini menambah badan penelitian yang mengidentifikasi anak-anak sebagai beberapa seniman paling awal dalam genus Homo," kata para peneliti.
Baca Juga: Gambar Cadas Purbakala di Sulawesi Terancam Rusak oleh Perubahan Iklim
Namun, yang lebih penting daripada usia para seniman adalah pertanyaan tentang spesies mereka. Apakah mereka Homo sapiens atau Hominin yang sudah punah? Satu teori, yang didukung oleh sisa-sisa kerangka yang baru-baru ini ditemukan di Dataran Tinggi Tibet, menyatakan bahwa mereka adalah orang Denisovan.
Seni parietal tertua saat ini diketahui dari daerah Sulawesi yang berusia 39.900 dan 43.900 tahun yang lalu dan juga yang paling tua diketahui menggunakan motif tangan. Lukisan tersebut berupa figuratif babi dengan kutil di tubuhnya, bersama dengan dua tangan yang diperkirakan berusia lebih muda sekitar 17.000 tahun berdasarkan laporan di Science Advances.
Baca Juga: Lukisan Cadas 45.500 Tahun Asal Sulawesi Jadi Temuan Tertua di Dunia
Selain lukisan figuratif babi berkutil dengan dua tangan manusia, di dekatnya juga terdapat dua hingga tiga sosok babi serupa yang samar akibat pengelupasan dinding gua. Ketiga sosok babi tersebut diduga posisinya saling berhadapan.
Dengan temuan baru ini yang berasal dari antara 169.000 dan 226.000 tahun yang lalu, jejak-jejak itu mungkin adalah karya seni tertua yang diketahui. "Bukti dari Tibet dengan jelas menunjukkan asal yang lebih tua dari seni parietal (yang diketahui) di dunia,” kata peneliti.
Baca Juga: DNA Pertama Penghuni Wallacea Ungkap Asal-Usul Penghuni Sulawesi
Source | : | Science Bulletin,Cornell Chronicle |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR