Yani bergelayut cepat, berputar-putar. Tubuhnya yang ringan melenggang gesit. Polah owa betina ini mengguncang kandang. Baru berusia tiga tahun, Yani bagaikan remaja yang penuh rasa ingin tahu.
Lahir di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Yani adalah hasil perkawinan antara pejantan Jowo dan betina Bombom. Pada 7 Juni 2013, Yani punya adik. Namanya Yudi. Owa balita ini amat lengket dengan induknya.
Inilah keluarga owa nan ideal. Kendati hidup di dalam kandang yang tak terlalu luas, Jowo-Bombom punya masa depan cerah untuk kembali ke alam liar. "Sudah siap dilepas, tapi Bombom bunting. Kalau dirilis, khawatir stres dan akhirnya keguguran," jelas Mulya Hermansyah, seorang pereksa primata di Pusat Penyelamatan.
Itu kisah Jowo-Bombom pada November 2013 silam. Pada Kamis (27/3) lalu keluarga owa ini telah menikmati alam bebas di Hutan Lindung Gunung Malabar, Jawa Barat. Pelepasliaran itu menjadi kisah sukses pelestarian primata yang terancam punah ini.
Selain habitat yang layak, melepas owa memerlukan syarat yang tak bisa ditawar-tawar: ia harus berpasangan. Owa jawa memang dikenal hidup setia dengan pasangannya. Sehidup-semati.
"Dia juga pilih-pilih pasangan," lanjut Mulya. Merilis owa tanpa pasangan, hanya akan membuatnya merana di alam bebas. Apalagi owa itu telah dipiara manusia, yang tak punya pengalaman mencari jodoh.
Mulya mengisahkan, owa yang dipelihara manusia kerap hasil perburuan. Untuk mendapatkan bayi owa, pemburu mesti membunuh induknya, yang selalu membopong anaknya. "Kalau mengambil bayinya, berarti harus membunuh induknya."
Pejantan yang ditinggal sendirian akan merana dan stres. "Biasanya tidak mau makan atau mencabuti rambutnya. Kalau tidak mau makan, umurnya tak bakal panjang," Mulya menegaskan. Itu juga kabar buruk: memelihara satu owa berarti menumpas satu keluarga owa.
Mencerabut owa dari alam hanya akan memaksanya melakoni hidup penuh nestapa. Makanan tergantung dari pemelihara, kesepian tanpa kehidupan sosial, dan menghempaskannya di atas tanah. Sebagai pengembara tajuk, dipaksa hidup di atas tanah adalah mimpi buruk bagi owa. Apalagi soal yang lebih pelik: perjodohan.
Mulya menuturkan, hutan yang akan menjadi habitat owa hasil pemulihan mesti disurvei terlebih dahulu. Mulai dari sumber pakan, kelebatan hutan, keberadaan owa setempat dan kemungkinan gangguan manusia. Lantaran itulah, "Setiap tahun belum tentu bisa merilis owa ke habitat aslinya," katanya. Selain owa harus siap lahir batin, tak jarang juga tak mudah menemukan habitat yang memadai.
Di antara sisa-sisa hutan Jawa, rimba Gunung Malabar, di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, dipandang sebagai salah satu tempat yang cukup layak menerima owa pulihan. Di hutan itu, pada medio Juli 2013 lalu, Pusat Penyelamatan yang dikelola oleh Yayasan Owa Jawa ini melepas pasangan owa Sadewa dan Kiki. Kerja bareng dengan Kementerian Kehutanan, PT Pertamina EP, Conservation International Indonesia, dan The Silver Gibbon Project ini sekaligus menanam pohon sumber pakan owa.
Perlindungan keanekaragaman hayati menjadi salah satu komitmen lingkungan PT Pertamina EP Assets 3 Field Subang. Sebagai satwa asli Jawa, owa sangat langka, dan parahnya diperjualbelikan secara ilegal. Karena itu, bersama pihak lain, PT Pertamina EP berinisiatif melaksanakan program pelestarian owa.
Para owa di Pusat Penyelamatan bakal mengikuti jejak Sadewa dan Kiki. Kendati butuh waktu dan kerja keras pemulihan owa piaraan, Pulau Jawa yang sesak pantas menyisihkan tempat bagi kehidupan primata ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR