“Common, Mireille. Are you afraid? It’s easy. You can do it. Just stand up for 10 seconds. One, two, three, … ten. Yes, you did it!” Anna menyemangati putrinya berdiri tegak seimbang di balance board.
Walau terlihat main-main, occupational therapy (terapi okupasi) sedikit demi sedikit mampu mengatasi gangguan tumbuh kembangnya.
Dua tahun terakhir, Mireille (8) menjalani terapi okupasi yang merupakan salah satu jenis terapi kesehatan, bagian rehabilitasi medis terpadu.Penekanan terapi okupasi adalah sensomotorik dan proses neurologi (saraf) dengan mengolah, melengkapi dan memperlakukan lingkungannya sedemikian rupa hingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan anak.
Dengan memperhatikan kemampuan dan keterbatasan anak, terapi ini bertujuan membantu tumbuh kembang anak agar tercapai kemandirian dalam kegiatan keseharian, kemampuan rawat diri dan penggunaan waktu luangnya.
Anak anak yang mengalami gangguan perkembangan, kesulitan akademis, keterampilan keseharian dan kemandirian itu termasuk di dalamnya autisme, attention deficit/hyperactivity disorder, down syndrome, Asperger’s syndrome, pervasive developmental disorder, sensory integration dysfunction, cerebral palsy, kesulitan belajar, keterlambatan wicara, gangguan proses pendengaran dan perilaku.
Terapi okupasi harus didukung sarana terapi memadai dan dilakukan ahli terapi okupasi yang mendapatkan pendidikan khusus. Di Indonesia ada beberapa lembaga pendidikan khusus untuk terapis okupasi, di antaranya, “Program D3 Studi Terapi Okupasi di Fakultas Kedokteran UI di bawah Depdiknas, dan Akademi Occupational Therapy Surakarta di bawah Depkes,” papar Abraham Setiyono, A.MD.OT, terapis okupasi dari Pusat Terapi Terpadu Sarana.
“Saat ini para terapis okupasi tergabung di Ikatan Occupational Therapist Indonesia,” tambah lulusan D3 UI ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR