Potensi besar kekayaan mikroba Tanah Air masih terabaikan. Pemerintah tak punya peta jalan pengembangan mikroba yang bermanfaat secara ekonomi.
Di sisi lain, peneliti asing sangat berminat, contohnya eksplorasi kekayaan hayati di hutan Mekongga, sebelah tenggara Sulawesi.
Kerja sama penelitian antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan University of Caifornia Davis, AS dalam kerangka International Cooperation of Biodiversity Group di Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara tersebut menghasilkan 335 ekstrak mikroba dan 228 ekstrak tumbuhan, yang sebagian diketahui potensinya.
"Hasilnya terancam kurang termanfaatkan," ungkap Ketua Tim Peneliti Rosichon Ubaidillah, Rabu (9/4).
Kerja sama sepihak itu berakhir pada 2013, lebih cepat rencana awal — di 2014. Salah satu penyebabnya, pihak AS mencederai kesepakatan kesepakatan, di antaranya publikasi sepihak dari peneliti UC Davis pada 2012, tentang spesies lebah raksasa Megalara garuda yang ditemukan di Mekongga.
Menurut Heddy Julistiono, peneliti mikrobiologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, dari semua ekstrak yang dibawa ke AS itu, peneliti telah melakukan uji bioaktif beberapa ekstrak. Untuk mikroba, peneliti menemukan dua ekstrak mikroba berpotensi inhibitor pertumbuhan penyakit, 73 mikroba potensi obat pencegah kanker dan tuberkulosis, serta beberapa ekstrak tanaman potensi meningkatkan daya tahan tubuh.
Kini, sejalan dengan terhentinya kerja sama itu, pengembangan dalam negeri pun mandek. Peneliti tak cukup dana untuk melanjutkannya. "Harus diakui dukungan pemerintah dalam hal investasi dana dan alat minim," bilang Rosichon.
Saat ini di luar jumlah ekstrak yang dihasilkan dari 800 lebih spesies tumbuhan dan ribuan mikroba, Pegunungan Mekongga masih menyimpan keanekaragaman hayati yang belum diketahui.
Kawasan seluas 254.675 ha dan terdiri atas hutan primer ataupun sekunder, serta termasuk kawasan yang dilalui garis Wallacea dengan keunikan ragam hayati.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR