Nationalgeographic.co.id—Satu lagi spesies baru hewan purba yang berhasil diindentifikasi. Kali ini datang dari famili Pengornithidae, salah satu kelompok Enantiornithnes paling awal.
Dilansir dari Sci News, Enantiornithnes adalah kelompok burung Zaman Mesozoikum yang paling sukses. Secara spesifik mereka diketahui dari periode Cretaceous atau Kapur, terutama dari fosil yang ditemukan di Asia.
Spesies baru ini diberi nama Yuanchuavis kompsosoura yang diperkirakan hidup 120 juta tahun lalu di wilayah yang kini bernama timur laut Tiongkok. Burung ini berukuran kecil, seukuran burung blue jay (Cyanocitta cristata) tapi ekornya lebih dari 150 persen panjang tubuhnya.
“Yuanchuavis kompsosoura memiliki ekor kipas yang pendek dan dua bulu (pada bagian ekor) yang sangat panjang,” kata Dr. Jingmai O’Connor, ahli paleontologi di Field Museum kepada Sci News.
Dr. Jingmai O’Connor melanjutkan bulu yang panjang didominasi oleh tulang belakang tengah atau rachis dan berbulu di ujungnya. Kombinasi antara ekor kipas pendek dengan dua bulu panjang (pintail) dapat ditemukan pada burung modern, seperti sun birds dan quetzal.
“Kami belum pernah melihat kombinasi berbagai jenis bulu ekor ini sebelumnya pada fosil burung,” jelasnya.
Yuanchuavis kompsosoura adalah kemunculan pintail pertama yang terdokumentasi famili di Enantiornithnes. Dr. Wang Min, seorang peneliti di Chinese Academy of Sciences menerangkan lebih lanjut.
“Morfologi Yuanchuavis kompsosoura yang diawetkan pada dasarnya mewakili kombinasi morfologi dua ekor yang sebelumnya dikenal dalam Enantiornithnes lain yang paling dekat dengan spesies ini,” ujar Dr. Wang Min.
Ekor berbentuk kipas yang dimiliki oleh Yuanchuavis kompsosoura berfungsi secara aerodinamis. Sedangkan dua bulu berukuran panjang itu sebagai daya tarik.
Dengan kata lain, burung purba Yuanchuavis kompsosoura mampu terbang dengan baik. Bulu ekornya yang panjang mungkin membantu untuk menemukan pasangan, namun menjadi hambatan untuk terbang.
Studi tentang spesies ini telah dipublikasikan dalam jurnal Current Biology dengan judul An Early Cretaceous enantiornithine bird with a pintail pada 16 September 2021.
Selain itu, dilansir dari Daily Mail, para peneliti mengatakan ekor panjang yang mewah ini sebagai “sinyal kejujuran” karena sifatnya yang merugikan.
“Seekor burung betina mungkin melihat pejantan dengan ekor yang mengganggu akan berpikir, ‘wah, jika dia bisa bertahan (hidup) dengan ekor yang konyol, dia pasti memiliki gen yang bagus,” tutur Dr. Jingmai O’Connor.
Fosil ekor Yuanchuavis kompsosoura menunjukkan bahwa ia hidup di hutan lebat selama periode Kapur Awal, 145 juta hingga 100,5 juta tahun lalu. O’Connor menerangkan bahwa burung yang hidup di lingkungkan yang lebih keras harus bisa terbang dengan sangat baik.
“Seperti burung laut, di lingkungan mereka yang terbuka, cenderung memiliki ekor pendek. Burung dengan ekor rumit yang kurang terspesialisasi untuk terbang cenderung berada di lingkungan yang rapat dan kaya akan sumber daya seperti hutan," ungkap Dr. Jingmai O’Connor.
Lingkungan hutan yang lebat saat ini merupakan rumah bagi sejumlah burung yang memiliki banyak ornamen seperti burung cendrawasih.
Adapun seleksi seksual – konsep yang diperkenalkan oleh Charles Darwin pada tahun 1859 – menyebabkan keragaman warna pada bulu ekor banyak diantaranya merugikan secara aerodinamis. Adapun alasan yang mungkin untuk kepunahan Enantiornithnes bersama dengan dinosaurus sekitar 66 juta tahun yang lalu karena sebagian besar mereka merupakan penghuni hutan.
Banyak ahli yang percaya, kalau serangan meteor yang mengakhiri kehidupan dinosaurus memicu badai api global yang menghancurkan sebagian besar hutan dunia. Penemuan fosil Yuanchuavis kompsosoura dapat membantu menjawab pertanyaan tentang burung yang selamat dari peristiwa kepunahan besar.
“Memahami mengapa burung yang hidup adalah kelompok vertebrata paling sukses di darat saat ini adalah pertanyaan evolusi yang sangat penting,” kata Dr. Jingmai O’Connor.
“Apa pun yang memungkinkan mereka menjadi begitu sukses, mungkin juga memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dari meteor raksasa yang menghantam planet ini ketika semua burung dan dinosaurus lainnya punah,” pungkasnya.
Source | : | Daily Mail,Sci News |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR