“Kami menemukan alat selam dan baju pelampung warna kuning yang di dalamnya masih ada tulang belulang,” seru Shinatria Adhityatama, peneliti arkeologi bawah air dari Pusat Arkeologi Nasional. “Sepertinya mereka sudah menggunakan alat selam ini, namun gagal untuk keluar dari kapal.”
Pada November silam, peranti GPS berperangkat sonar yang dipasang pada kapal tim ahli arkeologi menunjukkan gambaran kondisi kontur dasar laut yang aneh. Lokasinya sekitar seratusan kilometer lebih di sisi timur laut Kepulauan Karimunjawa.
Kemudian, tim melakukan penyelaman ke dasar laut untuk menyelisik sebongkah besi rongsokan tua. Penjelajahan dalam rongga yang dihuni ikan itu memang sangat berbahaya, memadukan kegairahan dan kengerian. “Intinya memang harus hati-hati karena di dalamnya banyak kerangka manusia yang harus dihormati. Kita tidak memindahkan kerangka tersebut. Kita membiarkan di tempatnya sebagai permakaman perang.”
Selain alat selam, dalam debris kabin tersingkap juga sebuah harmonika, botol-botol bir, sisa torpedo di bawah tempat tidur, aneka panel listrik. Beberapa barang yang kerap melekat di tubuh awaknya: sol sepatu, binokular, kaca mata pelindung, dan selang pernapasan. Juga, peralatan bersantap seperti cangkir, cawan, dan piring.
“Sasaran kita adalah dapur. Banyak penelitian kapal sebelumnya melakukan identifikasi kapal melalui piring,” ujar Adhityatama. “Di kapal selam itu kami menemukan piring bercap Nazi!”
Pusat Arkeologi Nasional mengidentifikasi temuan ini sebagai U-Boot (Unterseeboot) bertipe IXC/40. Tampaknya, hantaman torpedo dahsyat telah menyebabkan kapal selam ini terbelah menjadi dua bagian, dan hingga kini lokasi bagian buritannya masih berselimut misteri.
Sebagian armada kapal selam Nazi Jerman itu berjulukan “Gruppe Monsun” yang merupakan bagian armada Hitler yang beroperasi di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sekitar 1943-1945. “Kita berangkat dari sebuah teori bahwa armada Jerman itu ada di Indonesia saat Perang Dunia Kedua, ujarnya. “Mereka tidak cuma lewat atau mengisi bahan bakar, melainkan juga punya aktivitas yang cukup penting.”
Dia mengungkapkan, jika invasi Jerman ke Rusia dalam Operasi Barbarosa membuahkan hasil, hubungan komunikasi antara Jerman dan Jepang dapat dilakukan dengan lebih mudah. Namun, kenyataannya Rusia sulit dirambah. Satu-satunya tempat yang masih aman untuk pertemuan antara armada Jerman dan Jepang adalah di Samudra Hindia karena Jepang sudah menguasai Asia Tenggara. “Akhirnya, dibentuklah Gruppe Monsun ini.”
“Aktivitas mereka dalam Monsoon Group memang masih diselimuti misi-misi rahasia,” demikian tuturnya. “Padahal, menurut saya peranan mereka cukup berarti. Mereka sedang membangun jaringan.”
U-Boot pernah melegenda sebagai penguasa samudra dalam kemelut Perang Dunia Kedua. Bagaimana para arkeolog begitu yakin bahwa barang rongsokan di Laut Jawa itu merupakan bagian dari Gruppe Monsun—armada Jerman di Asia Tenggara? Seperti apakah sosok perwira U-Boot? Pertanyaan yang lebih besar pun muncul: Mengapa Nazi Jerman bermain-main di pelataran yang jauh dari rumahnya sendiri? Apa tujuan kawanan itu menggerayangi Asia Tenggara—termasuk Indonesia? Seperti apakah sejatinya raut badan kapal selam nan malang itu?
Simak jawaban atas pertanyaan tersebut bersama peta rute penjelajahan armada kapal selam Jerman hingga ke Indonesia dalam kisah “Memburu Sang Pemburu” di National Geographic Indonesia edisi Mei 2014.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR