Tiga tahun berpeluh, belajar menuntut ilmu di bangku sekolah menengah atas tak lagi cukup. Kini, satu bulan mengikuti supercamp justru jadi "ajian" utama menembus perguruan tinggi negeri idaman. Itulah era instan, pembelajaran pun dikemas ringkas dan pintas.
Peminatnya tak sedikit dan dari penjuru Tanah Air. Satu per satu remaja berdatangan, masuk ke sebuah wisma di Depok, Jawa Barat, sambil menyeret koper bermerek, Minggu (27/4) sore.
Selama sebulan, koper isi pakaian, kebutuhan sehari-hari, dan buku-buku bakal menemani mereka tinggal di wisma itu, jauh dari orangtua, dan mempersiapkan diri untuk Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada 17 Juni dan tes jalur-jalur masuk lainnya.
Malam itu, 38 murid dari sejumlah daerah di Indonesia berkumpul menjadi teman seperjuangan, mengikuti program supercamp yang digelar bimbingan belajar Lavender.
Mulai malam itu, mereka akan mempelajari jurus menjawab pertanyaan dan melahap latihan-latihan soal mulai pagi hari hingga malam hari. Esok harinya, santapan hari pertama adalah try-out yang bertujuan mengukur kemampuan mereka.
Fauzan, siswa kelas III SMA International Islamic Boarding School, datang ditemani ibundanya, Nur Wahyuni (44), asal Bekasi. Dia ingin masuk Jurusan Teknik Sipil Universitas Indonesia.
Brand Marketing Lavender Bayu Sutrisno mengatakan, biaya supercamp di Lavender dipatok Rp36 juta untuk program non-jaminan dan Rp46 juta untuk program jaminan. "Untuk program berjaminan lulus, kami akan kembalikan Rp20 juta jika siswa tidak lulus ke perguruan tinggi negeri," jelasnya.
Bukan hanya Lavender yang menyediakan supercamp semacam ini. Lembaga Bimbingan Belajar Tes Alumni 70 (BTA 70) dan ESQ Smartplus ikut mengusung program serupa.
Lantaran perlu merogoh kocek puluhan juta rupiah, hanya mereka yang berduit yang dapat mengakses layanan premium itu.
Para pengamat pendidikan melihat kemunculan kemah super secara berbeda. Pengamat pendidikan Mohammad Abduhzen, mengungkapkan, fenomena kemah super persiapan tes seleksi masuk PTN itu marak dalam lima tahun terakhir.
"Saya mengamati, pergerakan lembaga bimbel itu semakin masif semenjak seleksi masuk dianggap menjanjikan bagi pelajar," kata Abduhzen merujuk begitu ragamnya jalur masuk PTN.
Ketika masuk ke perguruan tinggi favorit bermodal utama hasil tes dan angka batas kelulusan yang ketat, peluang pun terbuka bagi lembaga bimbingan belajar untuk berbisnis program belajar.
"Ini adalah salah satu wujud komersialisasi pendidikan," ujarnya. Apalagi lembaga bimbel tersebut ada yang menawarkan program-program belajar dengan jaminan lolos.
Minat masyarakat masuk perguruan tinggi sangat besar. Tentunya sekarang mereka yang berdaya ekonomi tinggi lebih berdaya pula dalam persaingan lewat jalur ujian tertulis itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR