Nationalgeographic.co.id—Kesedihan adalah emosi manusia yang normal dan bagian dari kehidupan. Namun depresi bukanlah kondisi kesedihan yang biasa.
Depresi bisa menyerang siapa pun secara tak terduga. Kondisi ini bisa berlangsung dalam waktu yang singkat, atau bisa menjadi gangguan klinis utama yang terus-menerus membebani seseorang. Bagaimanapun, kondisi seperti itu berbahaya dan membutuhkan perawatan dan perhatian.
Keadaan kesedihan yang ekstrem ini bisa membuat seseorang tampak apatis, lesu, dan melankolis berkepanjangan. Depresi adalah gangguan mental yang serius dan keadaan yang mengganggu banyak orang di seluruh dunia.
Ini bukan kondisi yang bisa dianggap enteng. Kondisi bni bisa sangat membebani seseorang dan bahkan bisa merenggut nyawanya.
Diperkirakan lebih dari 160 juta orang di seluruh dunia menderita depresi berat. Jika tidak ditolong, mereka dapat termakan oleh keadaan ini dan mengambil nyawa mereka sendiri alias bunuh diri.
Ilmu pengetahuan dan kedokteran saat ini telah menjelaskan banyak hal tentang kondisi serius ini. Dan berkat itu, pengobatan saat ini bisa membantu orang-orang yang depresi.
Namun depresi bukanlah kondisi yang hanya dialami orang-orang kiwari. Depresi tentu juga pernah menimpa orang-orang zaman dahulu, orang-orang dari masyarakat kuno.
Lalu bagaimana masyarakat kuno memahami keadaan ekstrem ini? Petunjuk pertama terletak di antara para filsuf Yunani Kuno. Peradaban ini berada di garis depan dari semua hal ilmiah, termasuk masalah mental.
Baca Juga: Studi: Bangun Tidur Satu Jam Lebih Pagi Bisa Kurangi Risiko Depresi
Tabib Yunani Kuno yang terkenal, Hippokrates (460 - 370 Sebelum Masehi), menggambarkan kondisi mental yang parah ini sebagai penyakit yang tidak biasa. Dia menamakannya "melankolia", dari bahasa Yunani Kuno "melas" yang berarti "hitam", dan "kholé" yang berarti "empedu". Dia menyatakan bahwa semua "ketakutan dan kesedihan, jika hal-hal tersebut bertahan lama", adalah gejala-gejala umum dari penyakit ini.
Hippokrates memberikan deskripsi "medis" atau ilmiah pertama tentang penyakit depresi sekitar 2.400 tahun lalu. Di tempat lahir peradaban, Mesopotamia, sebenarnya telah disebutkan bahwa penyakit seperti itu sudah ada sejak 2.000 Sebelum Masehi atau 4.000 tahun lalu.
Namun, orang-orang Mesopotamia menganggap depresi sebagai keadaan spiritual, masalah yang disebabkan oleh kerasukan setan. Jadi, orang yang depresi pada zaman itu akan meminta bantuan orang suci, bukan dokter. Orang-orang pada zaman itu juga biasa berharap untuk menghilangkan "ketakutan" dengan mempersembahkan kurban kepada dewa Shamash dalam ritual yang rumit.
Baca Juga: Berpelukan, 'Magic Touch' Pereda Stres yang Tabu di Indonesia
Berabad-abad kemudian, orang-orang Yunani memiliki pemahaman yang lebih baik tentang penyakit manusia. Namun pemahaman mereka soal depresi masih mentah. Hippokrates percaya bahwa melankolis, seperti kebanyakan penyakit lainnya, disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam humor.
Orang-orang Yunani banyak mendasarkan diagnosis mereka pada apa yang disebut "humor", yaitu empat cairan tubuh: darah, dahak, empedu hitam, dan empedu kuning. Hippokrates mengklaim bahwa melankolis disebabkan oleh kelebihan empedu hitam di limpa. Jadi, pengobatan untuk kondisi tersebut adalah dengan mengeluarkan darah, diet, olahraga berat, dan mandi air panas atau dingin.
Beberapa abad kemudian, negarawan Romawi bernama Cicero memberikan diagnosis yang lebih logis terkait keadaan depresi. Cicero mengatakan bahwa melankolis berakar pada ketakutan, kemarahan, dan—di atas segalanya—kesedihan.
Baca Juga: Tak Hanya Orang Dewasa, Anak-anak Juga Alami Depresi Akibat Karantina Selama Pandemi
Namun, pada abad-abad berikutnya, pengobatan penyakit ini tidak berkembang. Di seluruh dunia, banyak "pengobatan" aneh dan kejam yang diterapkan untuk pasien depresi. Umumnya, dalam masyarakat pasca-klasik dan awal abad pertengahan, orang-orang yang depresi dijauhi dan dipandang lemah. Karena itu, mereka paling sering mengalami penghinaan dan kekerasan.
Sering dilaporkan bahwa para pasien seperti itu dilemparkan ke ruang bawah tanah, dibelenggu, dan dipukuli. Tetapi seiring dengan kemajuan sains, akhirnya para pasien depresi mulai bisa mendapatakan pengobatan yang lebih baik dan lebih layak.
Pengobatan depresi yang layak secara medis bisa terwujud perlahan-lahan berkat para pelopornya. Salah satu pelopor dalam pengobatan itu adalah tabib Persia, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi (864 - 930 Masehi). Di dunia barat, ia dikenal sebagai Rhazes.
Ar-Razi secara akurat menggambarkan depresi sebagai penyakit yang berasal dari otak. Dia menyebutnya sebagai "gangguan obsesif-kompulsif melankolis", yang berasal dari perubahan aliran darah di otak, sebagaimana diberitakan Ancient Origins.
Dia mendesak semua dokter untuk merawat pasien mereka dengan kebaikan dan perawatan khusus, dan menekankan penguatan positif, yaitu penghargaan untuk perilaku yang tepat. Setelah memberikan perawatan yang berhasil, Ar-Razi akan mengeluarkan para pasien dan memberi mereka sejumlah uang. Ini akan membantu mereka dengan kebutuhan mendesak kembali ke masyarakat dan membantu transisi mereka.
Ini dianggap sebagai kasus perawatan psikiatris pertama yang tercatat. Dan kita dapat dengan aman berasumsi bahwa Muhammad Ar-Razi berhasil menyembuhkan banyak kasus depresi dengan pendekatan pengobatannya yang hati-hati dan baik.
Di zaman sekarang, masih banyak orang yang berpikiran bahwa orang-orang menjadi depresi karena kerasukan setan atau memiliki iman yang lemah. Selain itu, banyak pasien depresi yang masih mendapat perlakuan tak manusiawi, seperti dipasung dan dipukuli.
Namun di sisi lain, kini juga banyak pasien depresi yang bisa mendapat perawatan dan pengobatan yang tepat sehingga bisa sembuh. Hal itu bisa terwujud salah satunya berkat warisan ilmu dan keteladanan dari Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi, ilmuwan Muslim yang mampu berpikir logis dan melampaui zamannya.
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR