Penelitian terkini yang dilakukan ilmuwan dari University of Bologna bersama organisasi konservasi global The Nature Conservancy (TNC), US Geological Survey, Stanford University dan University of California-Santa Cruz, menjelaskan mengenai kontribusi terumbu karang terhadap pengurangan dan adaptasi risiko di kawasan Atlantik, Pasifik, dan Samudera Hindia.
Penelitian ini menyebutkan bahwa terumbu karang dapat memberikan perlindungan yang substansial terhadap bencana alam dengan mengurangi energi gelombang rata-rata 97% (penelitian ini dilakukan di semua laut tropis).
Tubir terumbu karang atau rataan karang dangkal yang pertama kali memecah ombak, dapat mengurangi kekuatan ombak hingga 86%. Biaya rata-rata untuk pemecah ombak buatan adalah US$19791 per meter, sementara restorasi terumbu karang hanya membutuhkan US$1290 per meter.
Penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal Nature Communications edisi bulan ini tersebut, menunjukkan bahwa terumbu karang dapat “berfungsi sebagai lini pertahanan pertama dari terjangan ombak, badai, dan peningkatan permukaan laut.” Michael Beck, salah satu penulis dalam studi mengatakan, 200 juta orang di lebih dari 80 negara terancam jika terumbu karang tidak dilindungi dan dipulihkan.
Filippo Ferrario, penulis utama dari University of Bologna mengatakan, penelitian ini menggambarkan bahwa restorasi dan perlindungan terumbu karang sangat penting dan merupakan solusi dengan biaya efektif untuk mengurangi risiko terhadap bencana alam di wilayah pesisir dan terhadap perubahan iklim.
Penelitian ini juga menyatakan bahwa lebih dari 41 juta penduduk Indonesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya terumbu karang. “Sebagai tempat bagi 16% terumbu karang dunia dan sekitar 590 spesies karang keras yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, Indonesia memiliki peran penting dalam ekosistem laut dunia,” kata Gondan Renosari, Direktur Program Kelautan TNC Indonesia, “Sayangnya, terumbu karang di Indonesia saat ini tengah terancam keberadaannya, terutama oleh faktor manusia seperti pembangunan di kawasan pesisir dan praktek penangkapan ikan yang merusak.”
“Penelitian ini hendaknya menjadi peringatan bagi pemimpin kita di masa datang untuk lebih memerhatikan dan mengutamakan pembangunan infrastruktur hijau yang telah disediakan oleh alam dibanding mengadakan proyek-proyek raksasa untuk menghadapi perubahan iklim,” tegasnya.
Saat ini, mitigasi bencana pesisir dan adaptasi iklim telah membuat banyak negara berinvestasi besar untuk membangun berbagai struktur pertahanan buatan seperti tanggul laut (sea wall). Padahal sebaliknya, penelitian ini menemukan bahwa restorasi terumbu karang untuk pertahanan pesisir besarnya hanya sepersepuluh dari biaya pembangunan tanggul buatan.
Pertahanan terumbu karang dapat ditingkatkan dengan biaya yang efektif melalui restorasi, sebuah faktor penting untuk melindungi negara dan kawasan kepulauan dengan sumber dana terbatas.
Tapi lewat penelitian ini ditunjukkan bahwa restorasi terumbu karang dapat menjadi cara yang efektif dan murah masyarakat pesisir dalam menghadapi kombinasi dari badai dan kenaikan permukaan laut.
Saat ini usaha-usaha konservasi kebanyakan ditujukan untuk terumbu karang di kawasan terpencil. Namun, penelitian ini menyarankan bahwa sebaiknya konservasi juga diarahkan ke kawasan perairan dekat permukiman penduduk yang akan mendapatkan manfaat langsung dari restorasi dan pengelolaan terumbu karang.
Sekitar 197 juta orang di seluruh dunia memperoleh manfaat dari terumbu karang sehat atau sebaliknya — harus menanggung biaya yang lebih besar jika terumbu terdegradasi. Mereka adalah penduduk yang tinggal di desa dan kota kecil di kawasan pesisir (di ketinggian >10 meter) yang rentan terhadap ancaman bencana alam dan berjarak sekitar 50 kilometer dari terumbu karang.
Tercatat 15 negara dengan populasi terbesar adalah:
1. Indonesia, 41 juta
2. India, 36 juta
3. Filipina, 23 juta
4. Tiongkok, 16 juta
5. Vietnam, 9 juta
6. Brazil, 8 juta
7. Amerika Serikat, 7 juta
8. Malaysia, 5 juta
9. Sri Lanka, 4 juta
10. Taiwan, 3 juta
11. Singapura, 3 juta
12. Kuba, 3 juta
13. Hong Kong, 2 juta
14. Tanzania, 2 juta
15. Saudi Arabia, 2 juta
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR