Namun justru terhadap “kewajaran” sebagai wacana, pendekatan realisme yang meyakinkan sebagai “kenyataan” ini, harus dilakukan sikap kritis.
Posisi Dr. Watson dan Miss Lana misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini “pribumi” tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip “jongos” (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman maupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri.
Etnik Tionghoa?
Apabila kemudian rombongan ini lantas “membasmi” sisa serdadu Jepang di Irian, semakin jelas dalam wacana pascakolonial ini pun posisi superior kulit putih tidak tergoyahkan.
Masalahnya, bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Tidakkah Wiro bisa dianggap berada dalam posisi yang tidak lagi inferior berhadapan Dr. Watson dan Miss Lana?
Sejumlah kajian di lingkungan akademik tentang komik Wiro, berdasarkan penanda bahwa Wiro makan daging babi hutan, membagikan dan menjualnya kepada penduduk kampung yang tidak menolaknya, dan ketika melewati kota selalu terlihat pula arsitektur bangunan kelompok etnik Tionghoa, menyatakan bahwa Wiro berasal dari kelompok etnik tersebut.
Namun pembuktian semacam itu belum cukup, karena rumah dan kampung halaman Wiro sendiri tidak memperlihatkan penanda yang terarah ke sana.
Betapa pun, karena Wiro pasti juga bukan bagian dari suku-suku pedalaman atau pantai, mungkinkah karena itu sahih sebagai representasi karakter Indonesia?
Pada tahun 1956, baru 11 tahun dari Proklamasi 1945, dari para penggubah berlatar etnik Tionghoa, sebuah proyek identitas setelah runtuhnya bentuk tradisional atas identitas akibat modernitas, setidaknya telah menyumbangkan salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia.
Dan bagaimana pun, Wiro adalah komik Indonesia yang monumental.
Ada selapis generasi di Indonesia, yang pada masa kecilnya di tahun 1950 sampai ‘60-an begitu bangga berkalung katapel sembari berayun dari dahan ke dahan, tiada lain karena membaca Wiro.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR