Di balik kemegahan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sejatinya masih tersimpan misteri. Terutama terkait hilangnya kepala-kepala arca Buddha yang hingga kini belum ditemukan.
Catatan Balai Konservasi Borobudur (BKB), dari 504 arca Buddha yang ada di candi peninggalan Wangsa Syailendra abad ke-8 itu, terdapat sebanyak 248 arca yang kini dalam kondisi tanpa kepala.
Kepala Seksi Pelayanan Konservasi BKB Iskandar M Siregar mengungkapkan bahwa BKB masih menyimpan 57 kepala arca yang belum dipasang. Sebanyak 52 buah di antaranya dalam kondisi utuh, sedangkan lima sisanya dalam kondisi rusak.
“Sejak dilakukan pemugaran oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907, kepala-kepala arca yang kami simpan itu sudah ada,” ungkap Iskandar kepada Kompas.com, Kamis (22/5).
Pihak BKB sendiri, kata Iskandar, tidak dapat memastikan letak keberadaan kepala-kepala arca yang hilang tersebut. BKB hanya dapat menduga apakah kepala-kepala arca tersebut memang hilang sejak sebelum dipugar, hilang karena dicuri, masih terpendam di kawasan sekitar candi, ataukah sudah berpindah tangan ke pihak lain.
“Kami pun tidak dapat memastikan apakah dari 248 arca Buddha yang tanpa kepala itu memang ada kepala pasangannya atau dahulu nenek moyang kita belum selesai membuatnya hingga utuh. Karena selain tanpa kepala, sejumlah arca juga ada yang tidak ada tangannya dan beberapa bagian tubuh lainnya,” papar Iskandar.
Iskandar mengatakan, BKB tidak mempunyai kegiatan yang khusus untuk mencari kepala-kepala arca itu. Pihaknya hanya menunggu informasi dari masyarakat dan pihak-pihak yang mengetahui keberadaannya.
Informasi terbaru, ungkap Iskandar, pada tahun 2013 BKB mendapat laporan bahwa ada lima kepala arca Buddha dimiliki oleh seorang kolektor di Paris, Perancis. Ada pihak yang kemudian mengirimkan foto-foto kepala arca yang diduga kepala arca Buddha Candi Borobudur itu ke pihak BKB. Namun setelah diteliti, disimpulkan bahwa kepala arca itu bukan merupakan kepala arca candi Borobudur karena memiliki ciri-ciri yang berbeda.
“Secara sekilas kepala arca yang dimiliki seorang kolektor di Paris itu memang mirip dengan kepala arca di Borobudur, namun setelah kami teliti ternyata ada bagian-bagian yang tidak sama, seperti ciri rambut, bentuk alis, bibir serta bentuk kepala yang berbeda dengan yang ada di Candi Borobudur,” urainya.
Kemudian pada tahun 2009, lanjutnya, seorang warga menemukan dua kepala arca di Dusun Mendalan, Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Pada tahun 2012, satu kepala dipasang di badan arca pasangannya di Candi Borobudur, dan satu kepala lainnya baru dapat dipasang pada Selasa, 13 Mei 2013, lalu.
“Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa memasang kepala arca ke badannya. Karena harus diteliti dengan cermat, mulai dari bekas 'luka' di badan arca dengan yang tersisa di leher kepala hingga kesesuaian struktur batunya. Satu per satu kepala itu dicocokkan dengan yang ada di candi Borobudur. Minimal satu tahun bisa diketahui,” ujarnya.
Setelah cocok, kata Iskandar, kepala baru dapat dipasang. Prosesnya pun tidak sembarangan. Karena butuh tim khusus yang yang sudah ahli serta peralatan yang khusus pula. Seperti lem khusus untuk jenis batu seharga Rp 3 juta per kaleng dan pengait antara kepala arca dengan badan (angkur) yang terbuat dari fiber buatan Jerman. “Kebetulan ada arkeolog dari Jerman yang membawakan angkur itu untuk kami, di Indonesia kami belum menemukan,” ujar Iskandar.
Kendati tidak ada upaya khusus pencarian kepala-kepala arca, katanya, secara umum pihaknya rutin melakukan survei maupun ekskavasi (penggalian) di sejumlah titik di kawasan sekitar candi Borobudur yang diperkirakan terpendam situs-situs candi purbakala.
Kawasan tersebut telah dipetakan oleh BKB menjadi kawasan stategis nasional (KSN). Terbagi menjadi lima zona, meliputi zona 1 (zona pelestarian candi), zona II (taman wisata, laboratorium), zona III (permukiman, persawahan, toko cendera mata), zona IV (panorama sejarah), dan zona V (taman arkologi nasional).
Iskandar menyebutkan, zona terjauh atau zona V berada di radius maksimal lima kilometer dari zona I (Candi Borobudur). Kawasan itu termasuk di daerah Kecamatan Borobudur, Mungkid, dan sebagian wialyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan adanya KSN tersebut, tandas Iskandar, ada ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan oleh masyarakat, yakni harus melapor ke BKB jika hendak membangun rumah atau melakukan aktivitas penggalian tanah lainnya.
“Selama ini masih ada sebagain masyarakat yang sudah sadar tentang ketentuan itu, misalnya saat hendak membangun pom bensin, mendirikan tower, dan sebagainya, Namun masih banyak juga masyarakat yang belum tahu ketentuan itu. Kita terus melakukan sosialisasi,” tandasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR