Jarum jam menunjukkan pukul 00.30, tetapi denyut kehidupan di kawasan Sukhumvit dan Silom, Bangkok, Thailand, belum berakhir. Di setiap sudut, pedagang terlihat masih memancarkan energi dengan melakukan transaksi beragam produk yang mereka miliki, mulai dari ketan mangga (buah mangga dikemas bersama ketan), phad thai gung sod (mi goreng khas Thailand), beragam suvenir, hingga vibrator!
Seluruh pedagang menjajakan dagangannya menggunakan gerobak atau mendirikan lapak kecil di tepi jalan. Sejumlah pedagang yang menjual vibrator atau berbagai peralatan yang dianggap tabu di Indonesia menggelar dagangannya secara lesehan.
Di jalan raya, bus angkutan umum masih tampak lalu lalang. Penggunanya, berselang seling, turun dan naik bus, menuju ke tempat tujuan berikutnya.
Di sudut yang lain di kawasan Sukhumvit, di sebuah gang yang dipenuhi kafe dan bar, musik disko berdentum. Pria, wanita, dan waria terbuka mengobrol, tertawa keras, dan berjoget. Semuanya seolah meneriakkan semangat hidup yang bebas, lepas, dan bahagia.
Ingar bingar kegembiraan malam hari itu jelas bertolak belakang dengan "ingar bingar" ketegangan pada November 2013 hingga Februari 2014 saat Kota Bangkok seolah "dikepung" demonstrasi. Ketika itu, kawasan Sukhumvit pun merasakan dampaknya. Lalu lintas macet dan layanan fasilitas publik, seperti Bangkok Mass Sky Train, atau biasa dikenal dengan BTS, terganggu karena dikuasai demonstran.
Namun, lupakan itu! Sekitar dua bulan setelah aksi itu mulai mereda, setiap orang yang datang ke Thailand bisa berkesimpulan bahwa situasi negeri Gajah Putih itu sudah kembali normal.
Aman dan menyenangkan
Kate Kessirin (24), pegawai di salah satu hotel di Silom, Bang Rak, Bangkok, mengatakan, situasi saat ini terbilang aman dan menyenangkan. Ia merasakan saat ini berbeda jauh dengan situasi saat marak terjadi demonstrasi. Saat itu, kehidupan di Bangkok sungguh tidak nyaman. Di luar hotel dia khawatir akan bentrok dengan massa demonstran dan, di dalam hotel, suasana dirasakannya muram dan murung karena minimnya tamu.
"Saat marak terjadi demo, banyak orang takut datang ke Bangkok sehingga okupansi hotel pun anjlok sekitar 50 persen dibandingkan hari biasanya," ujarnya.
Hotel tempat Kate bekerja memiliki 467 kamar. Pada kondisi normal, saat tidak terjadi banyak demo, antara 400 dan 450 kamar terisi per harinya. Saat ini, ia menambahkan, situasi politik sebenarnya belum sepenuhnya membaik. Masih ada pertentangan pendapat dan kebuntuan politik di Thailand.
"Saya tidak terlalu paham soal politik. Dalam hidup, yang paling penting bagi saya adalah bekerja, mencari uang," ujarnya. Kendati pemilu baru akan digelar Juli mendatang dan politik berpotensi kembali (dan akhir-akhir ini memang) memanas, ia yakin situasi akan membaik. "Kita harus optimistis dan yakin akan lebih baik," ujar dia lagi.
Agaknya optimisme yang sama juga dimiliki Air Asia. Di tengah situasi politik yang tak menentu, perusahaan penerbangan yang berbasis di Malaysia itu justru melakukan ekspansi bisnis, membuka satu anak perusahaan, Thai Air Asia X, April lalu. Mulai 17 Juni 2014, maskapai ini akan mulai menjalankan rute penerbangan dari Bangkok, Thailand, ke Seoul, Korea Selatan. Tahun ini juga, mereka akan kembali membuka rute penerbangan menuju Tokyo dan Osaka, Jepang.
Sekalipun situasi negara dipastikan akan berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan dari dan ke Thailand, Thai Air Asia X juga tetap optimistis, berani memasang target jumlah penumpang di tiga rute penerbangan itu mencapai 200.000 orang per tahun.
Tak hanya menyusun rencana di tahun ini, Thai Air Asia X juga tengah menyusun ancang-ancang di tahun depan. Tahun 2015, mereka berencana membuka rute baru, Thailand-Tiongkok.
Chief Executive Officer Thai Air Asia X Nadda Buranasiri mengatakan, jika rencana membuka rute penerbangan baru itu disebut sebagai rencana A, saat ini ia tidak memiliki rencana B, rencana yang akan dipakai saat situasi politik semakin memburuk. "Kami tidak memiliki rencana cadangan apa pun. Kami hanya bisa memastikan, dalam kondisi seburuk apa pun, kami akan bertahan dan tidak akan serta-merta mundur dari bisnis jasa penerbangan," papar dia.
Thai Air Asia X bisa optimistis. Kekacauan politik tak serta merta menjadikan semua wisatawan enggan untuk datang ke Thailand. Thomas Leduc (32), wisatawan asal Perancis, mengatakan, ia tidak kapok pergi ke Thailand. Akhir tahun lalu, ia sempat pergi ke Thailand dan mengalami sendiri bahwa sebenarnya tak perlu ada yang dikhawatirkan. Sekalipun banyak terjadi unjuk rasa, dia tidak pernah bertabrakan dengan massa pengunjuk rasa karena banyak orang yang memberi tahu.
"Dengan banyaknya orang yang sigap memberi tahu, kami merasa terlindungi," ujar dia. Ketika itu, dia menghabiskan waktu tiga hari di Thailand.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR