Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, kegiatan memulung sampah perlu diadakan secara rutin. Diharapkan nantinya lingkungan akan selalu bersih. Sungai dan jalan bukanlah tempat sampah sehingga harus dijaga kebersihannya.
Meski demikian, yang akan menjadi tantangan pemerintah adalah bagaimana mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang baik dan lestari. Koordinator KPC Bogor Een Irawan Putra mengatakan, enam lomba kurun enam tahun ini sudah diikuti oleh 8.217 warga.
Dari lomba berhasil dikumpulkan 11.435 karung penuh sampah. Rekor peserta terbanyak masih dipegang oleh lomba pada Sabtu, 1 Juni 2013, yang diikuti 2.458 warga 12 kelurahan bantaran Ciliwung dan berhasil mengumpulkan 2.678 karung penuh sampah.
Ketua Kwarcab Kota Bogor Ade Syarif Hidayat mengatakan, mendukung kegiatan jalan sehat diadakan secara rutin. Dengan begitu, siswa akan selalu diajak mencintai lingkungan. Dari memungut sampah bisa dikembangkan misi pemilahan dan teknik mengolah sampah agar bisa diterapkan di keluarga.
Kegagalan sejarah membuktikan, Bogor selalu dianggap sumber masalah banjir Jakarta saat Ciliwung meluap. Tudingan yang wajar jika dikaitkan dengan pengelolaan sampah yang masih amburadul.
Janganlah lupa, pada 2007, Bogor dijuluki 'kota terjorok'. Namun, Kota Hujan yang berkategori sedang pernah juara Adipura 1986, 1987, dan 1989. Kegagalan menjuarai Adipura ditambah julukan terjorok jelas merupakan tamparan yang seharusnya membuat orang Bogor terhina.
Sayangnya, cuma sebagian yang tergerak dan beraksi. Antara lain, KPC yang memulai dengan kegiatan sederhana yakni memungut sampah sejak 15 Maret 2009. Kegiatan terus berlangsung dan rutin setiap Sabtu. Tujuannya, mengajak masyarakat bantaran Ciliwung di Bogor tidak lagi membuang sampah sembarangan yang dapat memperparah banjir di hilir (Jakarta).
Dalam setahun, paling sedikit 1.200 karung sampah bisa dipungut. Diasumsikan, dalam setahun ada 52 minggu yang notabene setara jumlah kegiatan.
Dengan begitu, di setiap kegiatan berhasil dikumpulkan 23 karung penuh sampah. Namun, dalam kegiatan rutin memungut sampah, yang terlibat paling tidak 10-20 orang. Artinya, amat jauh dibandingkan jika ada lomba.
Dengan demikian, sebenarnya, titik berat kegiatan bukan pada sedikit atau banyak sampah yang bisa dipungut. Yang utama adalah warga mau berkegiatan secara berkesinambungan.
Saat lomba, peserta amat banyak. Namun, kegiatan rutin, peserta amat sedikit. Apakah Warga lebih terpesona dengan lomba yang berhadiah daripada membangun kesadaran bersih lingkungan? Mengapa begitu sulit menjadikan gerakan sederhana sebagai aktivitas massal yang rutin?
Ciliwung membentang 117 kilometer dari hulu di Kabupaten Bogor kemudian melintasi Kota Bogor, Kota Depok, dan hilir di DKI Jakarta. Di sepanjang aliran, KPC pernah mendata ada 251 lokasi penumpukan sampah di sepanjang sungai. Ini menandakan masyarakat bantaran tidak peduli dengan Ciliwung.
Kondisi serupa terjadi di jalan-jalan di Kota Bogor. Masih banyak ditemukan tumpukan sampah yang tidak terangkut. Orang masih buang sampah sembarangan. Tong sampah terkadang tidak penuh atau pernah sampai membludak karena isinya tidak terangkut.
Menjadi terlihat bahwa persoalan sampah harus menjadi perhatian serius. Jika sudah tidak ada kepedulian, bagaimana mungkin mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang baik dan lestari?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR