Museum Wayang di kawasan Kota Tua Jakarta, mungkin sudah bukan tempat asing. Ratusan atau mungkin ribuan warga Jakarta pernah mendatanginya.
Tapi, pernahkah memerhatikan selebaran dan papan informasi yang menerangkan sejarah museum tersebut?
Pada papan informasi, diutarakan bahwa museum itu sebelumnya merupakan Gereja Belanda Lama yang dibangun pada tahun 1640. Selanjutnya, gereja direnovasi menjadi Gereja Belanda Baru.
Di museum itulah, mantan Gubernur Jenderal Batavia, J.P. Coen, pertama kali dimakamkan. Kini, makam dan nisan dipindahkan ke Museum Taman Prasasti.
Sejak kemerdekaan Indonesia, gereja diubah menjadi Museum Jakarta Lama. Tahun 1960, nama diubah menjadi Museum Jakarta hingga akhirnya tahun 1975 ditetapkan sebagai Museum Wayang.
Keterangan di papan informasi itu sekilas tampak biasa. Namun, bila dicermati, ada yang sedikit janggal.
Ada informasi yang menyebutkan, "Gereja pernah hancur akibat gempa Bumi besar tahun 1808 yang disebebkan letusan Gunung Tambora."
Benarkah bangunan Museum Wayang pernah hancur karena gempa akibat letusan Tambora?
Tambora meletus pada tahun 1815. Mengapa dikatakan bahwa gereja hancur akibat letusan Tambora pada tahun 1808?
Arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, meragukan informasi yang tertera pada papan informasi itu.
Ia mengatakan bahwa letusan Tambora tak mungkin mengakibatkan gempa yang bisa meruntuhkan bangunan di Kota Tua. Jaraknya terlalu jauh.
"Jika mencapai Kawasan Jakarta (Kota Tua, red) maka semua bangunan yang berada di sekitar Museum Wayang seperti Gedung BI dan Sadthuis maupun gedung lain akan ikut hancur," katanya.
Menurutnya, dampak yang mungkin mencapai Kota Tua hanya debu vulkanik. Akibat debu vulkanik, dampak letusan Tambora memang mencapai Eropa.
Bambang menambahkan, berdasarkan buku Adolf Heukeun, bangunan Museum Wayang dahulu hancur akibat gempa kecil yang menyebabkan bangunan retak.
Bambang menuturkan, bangunan Museum Wayang sebelumnya tertinggi di Jakarta. Namun, bangunan itu dibongkar dan dibangun lagi akibat gempa hingga tahun 1938.
"Tapi bukan gempa bumi dari letusan Tambora melainkan dari Gunung Salak atau dari Daerah Sunda lainnya," jelas Bambang saat dihubungi, Sabtu (14/6).
Senada dengan Bambang, pakar tektonik dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengungkapkan, keterangan yang tertera pada papan informasi tersebut mungkin keliru.
Dampak letusan Tambora yang mencapai Jakarta hanya berupa debu vulkanik. Kalau yang dimaksud gempa, mungkin yang dimaksud akibat gempa Gunung Salak.
"Debu tebal bisa saja merusak bangunan, biasanya vulkanik bom yang merusak atap, tapi hal tersebut terjadi jika bangunan jaraknya dekat dari gunung api," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR