Beberapa peneliti percaya tato-tato ini menjadi pengobatan kuno untuk rasa sakit. Berbagai tumbuhan yang diketahui memiliki khasiat obat ditemukan di dekat tempat peristirahatan Otzi, yang semakin memperkuat teori ini.
Namun, tidak semua tato Otzi berada di tempat-tempat yang biasanya nyeri persendian muncul akibat penuaan. Otzi juga memiliki tato di dadanya. Teori tujuan di balik rangkaian tato ini, yang ditemukan menggunakan teknik pencitraan baru pada tahun 2015, berkisar dari akupunktur awal atau ritual penyembuhan seremonial hingga menjadi bagian dari sistem ritual atau kepercayaan agama.
Menurut Allison Hwan, peneliti dari Instructional Faculty in Communication di Arizona State University, gagasan bahwa tato-tato Otzi mungkin memiliki makna budaya atau agama yang mendalam bagi dia dan orang-orangnya bukanlah tanpa alasan.
Baca Juga: Seperti Inilah Suara Otzi Sang Manusia Es
"Sebagai sejarawan dan sarjana tato, saya telah melihat bagaimana tato secara historis digunakan untuk penyembuhan seremonial, ritual keagamaan dan untuk menunjukkan milik kelompok budaya dan agama di seluruh dunia kuno dan memimpin hingga zaman modern," tulis Hwan dalam sebuah artikel di The Conversation.
Sejumlah mumi kuno lainnya juga memiliki tato di tubuhnya. Sebagai contoh, sisa-sisa mumi wanita di Mesir memiliki tato yang berasal dari tahun 2000 Sebelum Masehi. Selain itu, gambar-gambar pada relief makam dan patung kuno juga ada yang menggambarkan para wanita bertato yang berasal dari tahun 4000-3500 Sebelum Masehi.
Dalam kedua kasus tersebut, tato adalah serangkaian titik yang sering diartikan seperti jaring pelindung di perut wanita. Ada juga tato Dewi Bes Mesir, yang dianggap sebagai pelindung wanita dalam proses persalinan, di paha atas wanita. Dalam kedua kasus itu, tato-tato kuno ini dianggap sebagai semacam jimat perlindungan bagi wanita yang akan melahirkan.
Baca Juga: Setelah 2.600 Tahun, Investigasi Kematian Mumi Perempuan Terpecahkan
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR