Saat terjangkit penyakit infeksi, tubuh meresponnya dengan demam. Itulah kenapa gejala awal penyakit infeksi sulit dibedakan, termasuk gejala untuk demam berdarah dengue (DBD). Sayangnya, jika terlambat diketahui DBD bisa berakibat fatal.
Dokter spesialis ilmu penyakit dalam FKUI/RSCM Leonard Nainggolan mengatakan, untuk mengetahui lebih dini dan mencegah shock akibat DBD, dibutuhkan pengamatan yang seksama terhadap tanda-tanda lainnya yang menyertai demam. Demam yang terjadi dari DBD biasanya akut atau terjadi secara tiba-tiba.
"Misalnya kemarin sore masih main bola lalu setelah subuh mendadak mengalami demam tinggi, harus dicurigai demam berdarah," ujarnya dalam sebuah diskusi kesehatan pekan lalu, di Jakarta.
Kecurigaan harus bertambah saat demam disertai dengan gejala lainnya, seperti sakit kepala, nyeri di belakang mata, nyeri otot, nyeri tulang, ruam (bercak merah) di kulit, serta ada tanda pendarahan misalnya mimisan, dan kadar leukosit atau sel darah putih yang rendah.
Adanya anggota keluarga atau tetangga yang positif DBD juga dapat memperkuat kecurigaan tersebut. Alasannya, nyamuk yang menjadi vektor dari penyakit biasanya mengigit lebih dari satu orang untuk membuatnya kenyang.
"Minimal ada dua gejala yang timbul, maka perlu dipastikan apakah itu demam berdarah atau bukan dengan pemeriksaan laboratorium. Namun kata kuncinya adalah demam mendadak tinggi," tegas dia.
Di sisi lain, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Sri Rezeki S Hadinegoro mengatakan supaya tidak buru-buru melakukan pemeriksaan laboratorium saat curiga atas gejala-gejala yang dialami sebagai gejala demam berdarah dengue. Pasalnya, jika baru satu hari demam, biasanya virus belum terdeteksi dan menimbulkan hasil negatif palsu.
"Saat sudah tenang bukan DBD, ternyata di hari ketiga malah memasuki fase kritis. Ini malah yang bahaya, karena itu sebaiknya pemeriksaan laboratorium dilakukan di hari ketiga," ujarnya.
Kendati begitu, ketika curiga DBD, hal yang penting untuk dilakukan adalah untuk minum cairan sebanyak-banyaknya. Ini penting untuk menghadapi fase kritis, yaitu saat terjadinya kebocoran plasma pada sel pembuluh darah yang menyebabkan kematian.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR