Nationalgeographic.co.id—Dulu musisi Iwan Fals kerap merekam realitas sosial secara kritis dalam lagu-lagunya. Salah satunya dalam lagu Ambulans Zig Zag berikut ini:
Deru ambulans memasuki pelataran rumah sakit yang putih berkilau
Di dalam ambulans tersebut tergolek sosok tubuh gemuk bergelimang perhiasan
Nyonya kaya pingsan mendengar kabar putranya kecelakaan
Dan paramedis berdatangan kerja cepat lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa
Tanpa basa basi ini mungkin sudah terbiasa
Tak lama berselang sopir helicak datang masuk membawa korban yang berkain sarung
Seluruh badannya melepuh akibat pangkalan bensin ecerannya meledak
Suster cantik datang mau menanyakan, dia menanyakan data si korban
Dijawab dengan jerit kesakitan, suster menyarankan bayar ongkos pengobatan
Ai sungguh sayang korban tak bawa uang
Suster cantik ngotot lalu melotot dan berkata silakan bapak tunggu di muka
Hai modar aku hai modar aku, jerit si pasien merasa kesakitan
Realitas sosial yang menyedihkan seperti itu ternyata tidak hanya terekam dalam lagu-lagu berlirik kritis, tapi juga dalam hasil penelitian ilmiah. Bahkan hasil penelitian baru-baru ini.
Menurut serangkaian baru eksperimen psikologis, rasa sakit orang-orang dari latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah lebih mungkin diabaikan oleh orang lain.
Bahkan menurut studi ini, para profesional medis tampaknya tidak menganggap serius penderitaan orang lain jika orang itu relatif tidak berpendidikan atau miskin. Mereka cenderung meresepkan lebih sedikit obat untuk orang dengan latar belakang semacam itu.
Hasilnya sebagian dapat menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat pendidikan, pendapatan, dan status sosial yang lebih tinggi cenderung menerima perawatan medis yang lebih baik untuk berbagai kondisi yang menyakitkan.
Baca Juga: Vaksinasi, Salah Satu Cara Selamatkan Nyawa Anak-anak di Negara Miskin
Memang ada juga masalah struktural yang berperan, seperti kurangnya akses ke perawatan medis. Namun stereotipe budaya yang lebih luas tampaknya juga berperan.
Studi baru ini adalah salah satu yang pertama untuk mengeksplorasi ide ini secara rinci. Studi ini berasal dari Amerika Serikat, tapi tampaknya bisa menjadi refleksi secara universal, termasuk di Indonesia.
Dalam studi ini ada sepuluh eksperimen yang melibatkan lebih dari 1.500 peserta. Dalam studi ini para peneliti secara konsisten menemukan perbedaan dalam cara orang-orang memandang dan memperlakukan rasa sakit orang-orang lainnya, tergantung pada tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan mereka.
Baca Juga: Mengapa Perempuan Lebih Menderita Secara Finansial Selama Pandemi?
Seorang pelayan, misalnya, biasanya dianggap kurang sakit daripada pengacara. Dan itu terbukti benar tidak peduli jenis kelamin atau ras pasien yang bersangkutan.
"Hanya mengetahui status sosial ekonomi teman atau orang asing (yang menurut penelitian dapat dengan mudah disimpulkan dari isyarat verbal dan nonverbal yang halus) dapat memengaruhi seberapa banyak rasa sakit yang dikaitkan dengan mereka dan oleh karena itu seberapa banyak dukungan yang ditawarkan," ujar psikolog Kevin Summers dari University of Denver, seperti dikutip dari PsyPost.
Misalnya, Summers mencontohkan, seorang pejalan kaki lebih mungkin mengabaikan orang asing dengan status soal ekonomi rendah yang jatuh di trotoar. Atau juga seorang teman lebih mungkin hanya menyarankan agar temannya yang status sosial ekonominya lebih rendah untuk 'menangani' cederanya sendiri daripada mencari perawatan medis. Selain itu bos Anda lebih mungkin untuk memberikan waktu istirahat atau membayar kompensasi yang lebih sedikit atau lebih rendah kepada karyawan dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah saat karyawan tersebut terluka atau sakit.
Tentu saja, itu adalah contoh dunia nyata. Sementara penelitian itu sendiri dilakukan di laboratorium, sebagaimana dilansir Science Alert.
Baca Juga: Tidak Setara, WHO Serukan Penundaan Dosis Vaksin Tambahan Negara Maju
Penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk menentukan bagaimana eksperimen sederhana dalam penelitian terbaru ini diterjemahkan menjadi kunjungan dokter yang sebenarnya atau kejadian darurat. Namun hasil penelitian ini telah memberi kita indikasi adanya bias yang mengerikan.
Penelitian ini dimulai dengan tes sederhana untuk melihat bagaimana seseorang menilai rasa sakit orang lain ketika mereka hanya menyadari status sosial ekonomi mereka. Percobaan pertama melibatkan 126 peserta yang melihat dan menilai sensitivitas nyeri yang dirasakan di 18 skenario nyeri untuk 20 subjek pria kulit putih –diwakili oleh gambar netral wajah mereka dan informasi tentang pekerjaan mereka.
Mereka yang memiliki pekerjaan berpenghasilan rendah dan tingkat pendidikan yang lebih rendah umumnya dinilai merasakan sakit yang lebih kecil daripada mereka yang seolah-olah memegang pekerjaan berpenghasilan tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan ketika mereka dikatakan melukai diri mereka sendiri dengan cara yang sama persis.
Dalam sedikit variasi pada percobaan di mana tidak ada foto yang ditampilkan dan hanya sebuah cerita yang dibacakan dengan deskripsi subjek seperti "perempuan kulit putih dengan status sosial ekonomi rendah", 248 peserta menilai individu-individu dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah itu kurang sensitif terhadap rasa sakit dibandingkan mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi, bahkan ketika cedera yang mereka gambarkan persis sama.
Uji coba tindak lanjut juga dilakukan dengan melibatkan faktor-faktor seperti jenis kelamin dan ras untuk melihat bagaimana variabel-variabel ini dapat berinteraksi dengan hasilnya. Para peneliti kemudian menemukan bahwa status sosial sebenarnya telah menjadi salah satu penyebab bias di sini.
Untuk mengetahui mengapa status sosial ekonomi seseorang tampaknya memiliki dampak besar pada bagaimana rasa sakit mereka diperlakukan, peneliti melakukan percobaan keempat dengan 111 peserta.
Sekali lagi foto sejumlah subjek ditunjukkan kepada para peserta, tetapi kali ini para sukarelawan harus mengevaluasi sensitivitas nyeri para pasien itu serta pengalaman dan kesulitan hidup mereka. Untuk menentukan ini, para peserta ditanyai pertanyaan seperti, "Menurut Anda, seberapa sulit hidupnya?"
Baca Juga: Muntahan Paus Membuat Kelompok Nelayan Ini Terlepas dari Kemiskinan
Hasilnya menunjukkan orang-orang cenderung percaya bahwa kesulitan hidup "memperkuat" mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih rendah, membuat mereka lebih kebal terhadap rasa sakit.
Tidak hanya kita tampaknya secara teratur mendiagnosis rasa sakit orang miskin, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kita secara teratur memperlakukan secara remeh kelompok ini juga.
Eksperimen lebih lanjut yang membandingkan orang-orang awam dan para profesional medis menemukan bahwa kedua kelompok akan meresepkan obat penghilang rasa sakit yang lebih sedikit kepada mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih rendah.
"Sekali lagi, kami menemukan bahwa para pengamat percaya bahwa individu-individu dengan status sosial ekonomi rendah membutuhkan perawatan nyeri yang lebih sedikit daripada individu dengan sosial ekonomi tinggi, dan efek ini dimediasi oleh persepsi sensitivitas nyeri target," tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut.
Laporan penelitian ini telah diterbitkan dalam Journal of Experimental Social Psychology. Dalam laporan studi ini, para peneliti menyatakan bahwa bias para dokter adalah bagian dari alasan mengapa orang-orang dengan latar belakang sosial ekonomi rendah secara konsisten menerima perawatan sakit di bawah standar.
Source | : | Science Alert,Psypost |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR