Batool, gadis remaja dengan rambut hitam sedada, berasal dari sebuah desa di Afganistan. Matanya sipit, kulitnya kuning langsat. Kerudung selendang putih panjangnya, yang hanya dijepit di rambut, menjuntai-juntai ke belakang bak tertiup angin. Dia menari dan meliuk manja dengan hentakan ceria lewat iringan musik tradisi negerinya.
Untuk beberapa saat dia memang melupakan derita keluarganya yang terdampar sebagai pencari suaka di negeri antara bernama Indonesia. Gadis itu berbusana lengan panjang berwarna merah, sementara bawahannya berupa kain panjang bergaris tebal warna hitam, merah, dan hijau—warna bendera negeri yang ditinggalkannya. Siapa saja akan terpesona, sekaligus pilu mendengar kisah para pengungsi yang sampai ke Indonesia. Pada akhir pementasannya, semua meriuhkan gempita tepuk tangan.
Kehadiran Batool telah menyihir ratusan yang hadir dalam acara “World Refugee Day 2014” (Hari Pengungsi Sedunia) di Museum Nasional Jakarta. Mereka merupakan pengungsi asal berbagai negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan yang berada dalam payung UNHCR (Badan PBB untuk urusan pengungsi) dan mitra pelaksananya, CWS (Church World Service). Peringatan pada tahun ini bertemakan: "1 Family Torn Apart by War is Too Many"—Satu keluarga yang terpisah karena perang itu pun sudah terlalu banyak.
“Saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 10.000 pengungsi dan pencari suaka yang datang dari berbagai negara, diantaranya Afganistan, Iran, Myanmar dan Somalia,” ungkap Mitra Salima Suryono, Staf Informasi Publik untuk UNHCR Jakarta. “Lebih dari 700 orang dari jumlah total pengungsi dan pencari suaka tersebut tergolong sebagai anak-anak.”
Peringatan Hari Pengungsi Sedunia kali ini kebetulan bertepatan dengan Piala Dunia 2014. UNHCR dan mitra pelaksanya menyelenggarakan pertandingan persahabatan futsal antara anak-anak pengungsi yang tinggal di dua tempat penampungan di Jakarta. Mereka adalah anak-anak yang terpisah dari keluarganya dan menjalani hidup sebagai pengungsi di Indonesia.
Menurut data yang dirilis UNHCR Indonesia, pengungsi dan pencari suaka yang tinggal sementara di Indonesia mempunyai kecenderungan yang meningkat tiap tahunnya. Berturut-turut: 385 orang (2008), melonjak fantastis menjadi 3.230 orang (2009), 3.905 orang (2010), 4.052 orang (2011), 7.223 orang (2012), 8,332 orang (2013). Sementara hingga akhir Mei 2014, jumlahnya meningkat menjadi 10.509 orang, dengan perincian 7.020 pencari suaka dan 3.489 pengungsi. Pergerakan pengungsi sangat dekat dengan situasi perang, kekerasan massal, ketidakstabilan politik, penganiayaan dan pelanggaran HAM.
Manuel Jordão, Perwakilan UNHCR di Indonesia, mengatakan dalam sambutannya yang hangat di depan para pengungsi dan pencari suaka,”Jangan lupakan orang-orang yang terpaksa harus mengungsi seperti di Afganistan, Suriah, Irak. Perang masih terjadi saat ini, dan kita berharap semoga banyak keluarga yang ingin bebas dapat melarikan diri dengan selamat,” ujarnya. “Jadi, marilah kita berbahagia dengan apa yang kita dapatkan saat ini, menikmati acara ini bersama, dan semoga acara ini menyenangkan.”
Di deretan paling belakang, para pengungsi dan pencari suaka menyajikan berbagai kuliner nasional mereka. Keluarga asal Somalia memasak sambas dan bayiya. Keluarga asal Etiopia menyajikan injera, selembar roti tipis berdiameter dua jengkal tangan, yang bersanding dengan wot semacam rebusan sayur berempah dan cincangan daging—mirip bumbu rendang namun entah rasanya. Keluarga asal Iran menampilkan salad olvieh—salad sayuran dan acar bermustard. Meja paling ujung menawarkan kudapan khas Srilangka: nasi buriyani dan aneka lauk pauknya.
Di meja kuliner Afganistan terhidang nan bota, bosragh, bolani, chakni, dan shirbirinj. Apapun namanya, namun hidangan utama mereka semacam lembaran roti kering bundar yang penuh lubang tusukan. Juga, semacam bubur bertabur kacang almond. Batool, bersama kedua kakaknya yang berbusana tradisi Afganistan—Abbas Ali dan Nasrina—menjaga gerai kuliner khas negerinya.
Saya bertanya kepada Batool, tarian apakah yang dia bawakan tadi? Gadis remaja yang tampak malu-malu sembari memasang kerudungnya yang berkali-kali melorot itu mengatakan, “Itu tarian tradisi Afganistan dengan iringan lagu rakyat kami berjudul Laila.” Lalu dia menambahkan, “Kisahnya tentang seorang gadis cantik di suatu desa.”
Dalam acara ini pula, seorang lelaki separuh baya menyanyikan lagu dengan gitarnya. Namanya, Talib Ali Ahmad yang dibantu iringan ketipung oleh Adris. Keduanya asal Somalia, tampaknya sudah bertahun-tahun di Indonesia. Dia menyanyikan lagu karyanya sendiri dengan bahasa nasionalnya, sebuah kisah tentang keadaan negerinya. “Di dunia ini ada sebuah perang, perang antarsaudara. Anda menemui kami untuk mengantar bantuan [bagi] perempuan, anak-anak, orang tua dan mereka yang papa.”
National Geographic Indonesia pada edisi November 2011 menerbitkan kisah para pengungsi yang terdampar di negeri ini berjudul Mencari Harapan ke Tanah Seberang.
Beradaptasi dengan Zaman, Tokoh Pemuda Wewo Sadar Kebutuhan Energi Ramah Lingkungan
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR