Sebagai antisipasi El Nino di tahun-tahun mendatang, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan keanekaragaman pangan dan kearifan lokal dalam hal cadangan pangan.
Seperti yang diketahui, El Nino telah terjadi berkali-kali dan dampaknya di Indonesia adalah kekeringan yang berkepanjangan. Pada tahun ini BMKG memperkirakan badai kering ini akan terjadi mulai di bulan Juli.
"Sebagai tindakan kuratif, impor beras mungkin menjadi solusi. Akan tetapi untuk jangka panjang seharusnya dilakukan pendekatan yang berbasis masyarakat dan keanekaragaman pangan yang kita miliki," ujar Puji Sumedi, Officer Ekosistem Pertanian dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), dalam pernyataannya, Kamis ini (26/6). El Nino bisa dikatakan secara berkala terjadi, oleh karena itu diperlukan solusi yang sifatnya jangka panjang. Selain itu, solusi tersebut juga harus bisa mendorong terjadinya kedaulatan pangan.
Dalam beberapa pemberitaan, Kementerian Pertanian telah menyusun rencana untuk mengimpor 500.000 ton beras dalam upayanya mengatasi El Nino.
Meski demikian, Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian mengatakan bahwa impor tersebut hanya alternatif pilihan saja, dan bukan keharusan. Impor dianggap mampu memperkuat cadangan beras dalam negeri dalam hadapi kekeringan.
Menurut Puji, masyarakat sebenarnya memiliki kearifan lokal terkait pengelolaan benih dan cadangan pangan untuk keluarga dan kelompoknya. Lumbung yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan di Pulau Jawa adalah salah satu contoh nyata.
Mekanisme penyimpanan cadangan makanan ini tidak hanya berkembang di Pulau Jawa tetapi juga di banyak daerah yang lain. Misal kelompok Suku Dayak Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan yang mampu memiliki cadangan makanan selama 9 tahun karena pengelolaan lumbung yang baik.
"Kemudian di Nusa Tenggara Timur, kelompok mitra KEHATI telah merevitalisasi lumbung keluarga, kelompok hingga lumbung adat," ujarnya. Masyarakat di NTT tersebut memiliki aturan adat khusus untuk mengakses bahan makanan yang tersimpan di dalam lumbung. Ragam pangan yang mengisi lumbung juga beragam sehingga mereka tidak tergantung pada satu komoditas saja untuk mengatasi permasalahan pangan di daerahnya.
Pendekatan kearifan lokal dalam bentuk lumbung inilah yang harus kembali didorong dalam antisipasi El Nino jangka panjang.
Jika pengelolaan benih dan cadangan makanan melalui sistem lumbung ini bisa terbangun kembali dengan baik, maka masalah kekeringan atau gagal panen dapat diatas. Sehingga ke depan kedaulatan pangan dapat tercapai.
Keragaman pangan Indonesia
Selain dalam konteks lumbung, untuk mengatasi masalah pangan di Indonesia pada masa-masa paceklik atau kekeringan, Puji mengatakan, bisa pula memanfaatkan keanekaragaman pangan di Indonesia. "Negara ini memiliki beragam sumber pangan selain beras .seperti jagung, singkong, sorgum, sagu, dan yang lainnya," ujarnya.
Bahkan pemerintah sendiri sebenarnya sudah memiliki aturan-aturan dalam kaitannya mendorong sumber pangan lain. Seperti Peraturan Presiden Nomor 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 42/2009 dan Peraturan Menteri Pertanian No.43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Hal ini tentunya harus diperkuat dan didorong ke masyarakat.
Dengan penyiapan komunitas dalam upaya membangun sistem cadangan pangan dengan memanfaatkan ragam sumber pangan ini, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan beras. Kemudian semakin beragamnya sumber pangan tentunya bisa menjadi satu solusi dalam menghadapi kegagalan panen pada saat badai El Nino datang atau pada musim-musim paceklik.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR