Kota juga harus memberi stimulasi, kegairahan, karena orang-orangnya mudah berhubungan dan berkomunikasi, termasuk dengan dunia luar. Membuat orang merasa memiliki privasi, tetapi terkoneksi dengan mudah dengan dunia luar.
Tantangan bagi perencana kota adalah mencipatkan kota yang seimbang. Karena itu hunian seimbang harus ada di dalam kota, bukan seperti yang diusulkan para pengembang membuat hunian sederhana di pinggiran kota, bahkan membuangnya ke luar kota. Sebabnya, kota harus mampu menampung keberagaman, termasuk tingkat sosial ekonomi.
Kota adalah manusia
Mungkin tidak ada kota yang benar-benar ideal yang memberi ruang publik sehingga orang bebas bergerak dan berhubungan, termasuk menikmati pengalaman berbelanja atau menyisir kota tua dan sekaligus memberi ruang bening untuk kontemplasi.
Namun, kota harus memiliki tujuan jelas akan menuju ke mana dan menjadi apa. Yang pasti, pembangunan fisik bukanla tujuan, tetapi cara membuat kota nyaman dihuni. tiap kota memiliki keunikan dan tantangan sehingga tidak ada satu resep yang sama untuk setiap kota.
Ada kota-kota yang sudah terberkati warisan budaya sehingga tantangannya memelihara agar keunikan itu tidak hilang.
Itu yang membuat Ubud, Bali, dirindui banyak orang. Kegiatan yang diorganisasi warga, bisa orang Ubud atau warga dunia, menjadi hal yang biasa. TEDx, yaitu program yang asalnya dari California dan diorganisasi secara lokal, misalnya, akan kembali diadakan di Ubud, Bali, pada September.
Bandung contoh lain. Kota ini ciptaan Belanda dan sejak awal terbuka pada berbagai etnis dan budaya, seperti julukannya, Paris dari Jawa.
"Pergaulan internasional terus berjalan. Penduduknya 2,5 juta orang, pengguna Facebook ada 2 juta orang dan jumlah kicauan (di Twitter) nomor enam terbanyak di dunia," kata Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Kota ini tidak asing dengan teknologi karena memiliki lebih dari 80 perguruan tinggi. Penduduknya 60 persen berusia 40 tahun. Bandung juga punya modal sosial sangat kuat, warga sangat kuat, warga sangat mencintai kotanya—terbukti dengan ada 4.000 komunitas.
Satu faktor lagi yang tidak bisa dianggap remeh, kota ini berhawa sejuk. Siapa pun yang pernah ke Bandung pasti setuju, udara Bandung enak untuk nongkrong di restoran dan kafe yang tersebar di mana-mana. Setiap kali selalu ada yang baru, seperti Miss Bee Providore di Ciumbuleuit yang bergaya minimalis-alamiah dan menyediakan sarapan. Dari sarapan pagi bersama, pasti lahir ide untuk mengerjakan proyek atau kegiatan baru bersama.
Kekuatan sosial seperti itu yang akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Bila setiap pemangku kepentingan di kota-kota mengenali kekuatan di dalam kota dan memiliki kepemimpinan yang efektif dan visioner, prediksi McKinsey kota-kota menengah dan besar akan tumbuh pesat tidak akan terlalu meleset.
Jakarta boleh jadi tidak akan lagi menjadi satu-satunya lampu penarik laron urbanisasi. Bahkan warga Desa Cibeduk di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, pun berani bermimpi kawasan itu menjadi kota kecil di kaki Gunung Gede dan menyajikan kopi Arabika dari sebuah kafenya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR