Ibu kota media sosial kini tak lagi di negara pembuatnya, tetapi justru di negara berkembang: Indonesia. Pertumbuhan pengguna internetnya mencengangkan dunia. Tahun ini diyakini 140 juta orang telah terkoneksi internet melalui perangkat seluler. Dunia telah melirik Indonesia.
Di negeri ini, tak lagi signifikan mempermasalahkan berapa sudah menggunakan media sosial karena hampir semua warga di perkotaan menggunakan. Berkat harga telepon pintar yang terjangkau dan paket data internet dari operator seluler yang terus perang harga, kehadiran media sosial tak lagi asing.
Majalah The Economist sampai menyoroti fenomena itu dengan judul menggelitik — Eat, Pray, Tweet — untuk menggambarkan kegemaran orang Indonesia yang religius dan gandrung dengan media sosial. Orang-orang suka mengobrol dan tak begitu risau dengan masalah privasi.
Analis media sosial dari MediaWave, Yose Rizal, mengatakan fenomena media sosial kini sudah serius. Tidak lagi menjadi ajang bersosialisasi dan mengobrol. "Mereka masuk lebih serius, menjadikan media sosial setahap lagi menuju e-commerce," ungkap Yose.
Hanya saja, e-niaga di Indonesia memang sistemnya belum bekerja otomatis layaknya e-niaga yang ideal. Media sosial dan internet hanya menjadi penampil barang-barang, selanjutnya cara transfer bank atau yang sedang populer adalah membayar saat barang tiba (cash on delivery/COD).
Cara yang seperti ini tak menguntungkan pelaku usaha global dari luar Indonesia karena harus berurusan dengan hal-hal yang sifatnya lokal. Pada sisi lain, situasi ini sebenarnya memberi kesempatan pelaku usaha lokal merebut peluang.
Ekonomi kreatif
Pengembangan e-niaga seperti setali tiga uang dengan pengembangan ekonomi kreatif. Para pemula (start up) misalnya, sangat diuntungkan dengan berkembangnya e-niaga sebagai jembatan lalu lintas pembayaran.
Meski demikian, ada satu ganjalan yang membuat e-niaga tidak begitu berjalan pesat. Faktor payment gateway yang belum terintegrasi dengan e-niaga membuat konsumen Indonesia hanya mengandalkan pembayaran offline melalui transfer bank.
Beberapa operator ponsel melihat peluang ini dengan menawarkan sistem pembayaran menggunakan apa yang telah dimiliki setiap orang, yaitu pulsa. Telkomsel punya T-Cash, XL punya XL Tunai, dan Indosat punya Dompetku. Namun, ternyata tak mudak memopulerkan ide itu.
Masalah utama lain dalam ledakan media sosial adalah bagaiman agar Indonesia tak hanya konsumtif, tetapi juga produktif. Jika terus konsumtif, Indonesia hanya bakal menjadi penonton.
Beruntung, berbagai cara itu kini mungkin dilakukan berkat media sosial. Banyak yang sukses bermodalkan promosi di media sosial. Sebagian harus berjuang membangun e-niaga untuk keberlanjutan. Semua jalan dengan berbagai tingkatan modal telah disediakan, tinggal pilih. Mari melangkah sekarang.
Sejarah Migrasi Manusia Modern di Indonesia Terungkap! Ada Perpindahan dari Papua ke Wallacea
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR