Arbaina (92) duduk di salah satu tiang di dalam Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Kalimantan Timur, Minggu (22/6). Sesekali dia memberi arahan kepada para belian, pangkon, dan dewa yang tengah bersiap menemani Sultan Aji Muhammad Salehuddin II (89) dalam membuka ritual Siram-siraman, upacara puncak Erau. Belian, pangkon, dan dewa merupakan sebutan untuk para pelayan Sultan.
Meskipun berjalan sangat pelan dan pendengaran berkurang, semangat Arbaina sebagai salah satu dewa tak lekang. ”Itu wadahnya jangan dibuka dulu. Kerisnya ditata lagi,” kata Arbaina kepada seorang pangkon.
Arbaina menjadi abdi Kesultanan Kutai Kertanegara sejak berusia 17 tahun menggantikan ibunya. Dia bekerja melayani keluarga Keraton Kutai Kartanegara saat masih dipegang Sultan Aji Muhammad Parikesit, sultan ke-20.
Dia bertugas menyediakan makanan dan menata pakaian keluarga keraton. Dia juga menemani Aji Pangeran Adipati Prabu Anom Surya Adiningrat yang kelak menjadi sultan dan bergelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II. ”Sejak kecil dia suka main bola dengan anak-anak orang biasa. Dia juga rajin baca buku. Setelah itu dia sekolah ke Belanda,” kata Arbaina.
Bekerja sebagai dewa bukan untuk mendulang harta bagi Arbaina. Hingga saat ini, upahnya hanya sekitar Rp 1 juta. Namun, dia merasa damai dan mencintai pekerjaannnya. Oleh karena itu, meskipun renta, ia tetap melayani Sultan. Arbaina kini memiliki 20 anak yang siap melanjutkan pekerjaan Arbaina jika kelak dia mangkat.
”Kami terus belajar dari ibu tentang cara atau tata aturan bekerja di keraton, makanya kami sering ikut ke sini,” ujar Aidal (50), anak Arbaina.
Tugas mulia panglima
Tak jauh dari tempat Arbaina duduk, Panglima Aji Pameng Fadli (54) berdiri lengkap dengan pedang yang diikat sarung di samping pinggulnya. Rambutnya keperakan ditutup kain batik, lengannya yang kekar dibalut beberapa gelang batu. Jemarinya dihiasi batu akik warna-warni. Tatapan matanya tajam ke depan seperti siap menghadang setiap lawan.
Fadli awalnya seorang petugas keamanan di sebuah bank dengan gaji tak kurang dari Rp 4,5 juta per bulan. Sepuluh tahun lalu, dia dipanggil Sultan untuk menjadi panglima memimpin para prajurit di keraton. Jangan tanya gaji, karena jumlahnya kini menyusut hingga tinggal 10 persennya.
”Jarang sekali yang dipanggil sebagai panglima. Ini tugas mulia, tak bisa dibandingkan dengan bayaran sebesar apa pun. Cukup upah kami dengan doa,” kata Fadli.
Fadli mendapat tugas itu karena kakek dan leluhurnya pun mempunyai tugas yang sama. Tentu bukan itu saja. Fadli menguasai ilmu kanuragan dan kemampuan melihat kehidupan dalam dimensi lain. Sebagaimana Arbaina, Fadli yang mempunyai delapan anak dan 16 cucu ini tengah mewariskan ilmunya agar kelak muncul generasi sebagai pendekar yang siap menjaga keraton.
Arbaina dan Fadli tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Namun, mereka tidak pernah kekurangan pangan. Mereka memercayai hidup penuh berkah karena mengabdi kepada Sultan, wakil Tuhan memimpin rakyat.
Emas hitam
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR