Kegiatan Sultan sehari-hari tak ubahnya warga pada umumnya. Dia menyempatkan jalan kaki pada pagi hari dilanjutkan dengan sarapan. Jika tidak ada kesibukan lain, dia membaca buku-buku berbahasa Belanda.
Kadang, Sultan menemui tamu. Ada yang datang dari pemerintah daerah ataupun dari Jakarta. Ada juga warga yang mempunyai permasalahan dia persilakan untuk datang. ”Pemerintah Kabupaten Kutai hampir selalu meminta pertimbangan Sultan sebelum membuat keputusan strategis,” kata Haryanto Bachrul, Menteri Sekretaris Keraton yang juga sepupu Sultan Aji Muhamad Salehuddin II.
Bachrul merupakan bekas Sekretaris Daerah Pemkab Kutai Kartanegara yang sudah pensiun. Dia sempat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif daerah tetapi gagal. Kini dia mengabdi sebagai menteri membantu jalannya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Kerabat keraton melebur ke dalam masyarakat dengan berbagai profesi. Sebutlah Aji Awang (35) yang masih termasuk cucu Sultan. Dia kini sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Timur. Dalam keseharian, dia merasa sebagaimana warga lainnya, tidak ada keistimewaan meski masih trah keraton. Baginya, yang membedakan adalah karya dan kerja keras, bukan gen.
Awang menyadari, posisi kesultanan, baik secara politik maupun ekonomi, tidak sekuat dulu lagi, terutama sejak Indonesia merdeka. Oleh karena itu, jika keluarga keraton tidak sekolah dan bekerja, sulit mempertahankan martabat.
Awang bersama keluarga keraton lainnya tengah menggagas kemungkinan pendirian perusahaan tambang batubara. Ini untuk menopang perekonomian keraton agar tidak melulu mengandalkan bantuan dari Pemkab Kutai Kartanegara.
Dalam buku Kesultanan Kutai 1825-1910 susunan Ita Syamtasiyah Ahyat, disebut sejak ditemukan batubara atau emas hitam di Pelarang, Kutai, pada 1845 oleh Morgan, orang Inggris yang bekerja pada agen perdagangan GP King, Kutai memiliki potensi ekonomi luar biasa. Dulu batubara hanya digunakan bahan bakar kapal-kapal perang Belanda.
Emas hitam itu mendongkrak kejayaan Kabupaten Kutai Kartanegara. Saat ini terdapat tak kurang dari 90 perusahaan batubara dengan tingkat produksi sampai 29 juta metrik ton per tahun. ”Kami ingin sebagian hasil alam itu memajukan keraton,” kata Awang.
Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura bertahan antara lain oleh dukungan-dukungan tulus orang- orang seperti Arbaina dan Fadli. Pengerukan emas hitam di wilayah Kutai selayaknya turut mengangkat kehidupan keraton yang tentu berdampak kepada para abdinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR