Seorang ratu kecantikan berusia 20 tahun, yang dulu diculik dan dijual kepada orang gipsi seharga sepasang anting emas ketika masih kecil, kini telah bersatu kembali dengan keluarganya, 16 tahun setelah tragedi itu.
Olga Romanovich baru berusia empat tahun ketika dia diculik secara kejam dari ibunya, Tamara, oleh sekelompok orang gipsi. Kelompok itu menculik gadis cilik tersebut setelah membujuk ibunya, yang pindah dari Belarus ke Moldova setelah bercerai dengan suaminya, untuk pergi ke pertokoan dan membeli sebungkus rokok.
Gadis cilik tersebut kemudian dijual kepada orang gipsi lain di kota Soroki, dekat perbatasan Ukraina, seharga sepasang anting emas. Sekarang, Romanovich, yang dulu namanya diubah menjadi Maria Preyda oleh keluarga yang mengadopsinya, bersatu kembali dengan keluarga kandungnya di Belarus setelah Interpol membantunya untuk melacak mereka.
Kasus mengejutkan itu akan memberi harapan bagi para orangtua yang kehilangan anaknya. Namun, hal tersebut juga meningkatkan kekhawatiran tentang berapa banyak orang lain yang mungkin telah diperdagangkan oleh kaum gipsi.
Saat berbicara setelah bersatu kembali dengan keluarganya, gadis itu mengatakan kepada harian Komsomolskaya Pravda, "Saya dicintai dalam keluarga gipsi itu, mereka membesarkan saya sebaik yang mereka bisa, bahkan lebih. Namun, perasaan muncul ketika Anda menyadari bahwa itu bukan hidup Anda. Anda bukan salah satu dari mereka sebagaimana orang-orang lainnya. Anda berbeda."
Romanovich, yang menang kontes kecantikan sebelum dirinya kembali ke Belarus, mengatakan, ia diberi kebahagiaan, masa kecil yang normal, oleh keluarga yang mengadopsinya. Dia terutama dibesarkan oleh neneknya dalam keluarga adopsi itu. Dia mengatakan kepada koran itu, "Saya mendapat nama baru, Maria, yang tidak biasa buat saya karena saya sebenarnya dipanggil Olga. Saya punya nama marga, Preyda. Putra nenek saya, Igor Preyda, mengadopsi saya. Nenek saya merupakan seorang ibu kedua bagi saya. Saya tumbuh sebagai anak normal."
Namun, dia mengatakan, selalu ada bagian dari dirinya yang "tersiksa" terkait keinginan untuk menemukan keluarga kandungnya. "Seiring waktu, saya belajar bahasa gipsi dan secara bertahap bahasa Moldova. Saya pergi ke sekolah bahasa Rusia, masuk perguruan tinggi, belajar sebagai juru masak dan penata rambut. Ya, Anda hidup dengan kebiasaan mereka, berbicara, berperilaku. Namun, saya selalu menanyakan satu pertanyaan: Siapakah saya? Dari mana asalku? Bagaimana saya bisa berada di sini?"
"Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mendera dan menyiksa. Saya ingin tahu yang sebenarnya. Siapa orangtua saya, bahkan jika mereka memang menjual saya. Saya ingin tahu siapa saya, darah siapa yang mengalir dalam diri saya."
"Saya tidak pernah berbicara tentang hal itu dengan siapa pun. Semua itu tersembunyi dalam diri saya. Sepanjang hidup, saya ingin tahu orangtua saya dan keluarga mereka."
Saat neneknya jatuh sakit sebelum kematiannya pada usia 73, Romanovich memutuskan untuk melacak orangtuanya. Nenek adopsinya itu mendorong dia untuk melakukan hal itu. Romanovich mengatakan, "Dia (nenek) mengatakan kepadaku, 'Temukan keluargamu. Kalau saya tahu tentang ibu kandungmu, saya akan memberitahumu'."
Romanovich akhirnya menggunakan jasa seorang psikolog untuk berhubungan dengan kolonel polisi Valery Rogozhine yang menghubungi Interpol.
Ketika dia diculik, ibu kandung Romanovich, yang kini sakit parah, melaporkan kehilangan putrinya itu kepada polisi di Minsk, tetapi tidak ada investigasi yang dilakukan. Sekarang tes DNA membuktikan bahwa Maria Preyda sebenarnya adalah Olga Romanovich. Dia kini tinggal bersama seorang bibinya dan diterima kembali ke dalam keluarga kandungnya.
Saat berbicara tentang pertemuannya dengan sang ibu, Romanovich berkata, "Saya menangis. Ibu saya sakit parah. Dia tidak hidup, dia hanya masih ada. Dia tinggal di pojok dunianya sendiri dan saya tidak ingin menyakitinya. Saya tidak membenci apa yang telah terjadi. Dia juga mengalami banyak hal. Saya tidak dapat menghakimi dia. Dia tidak bisa disalahkan atas apa yang terjadi, itu hanya nasib."
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Dini |
KOMENTAR