Terdapat ratusan titik kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, terutama Provinsi Riau, kata Kepala Bidang Data dan Humas Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.
Dari pantauan BNPB, ada 286 titik api di Sumatra, 160 di antaranya di Riau. Lokasi kebakaran masuk dalam kabupaten yang kerap dilanda kebakaran hutan, semisal di Kabupaten Rokan Hilir dengan 94 titik api, Kabupaten Pelalawan 16 titik api, Kabupaten Indragiri Hulu 12 titik api, dan Kabupaten Bengkalis 8 titik api.
Ancaman kebakaran hutan semakin meningkat karena cuaca wilayah Provinsi Riau kering.
"Beberapa wilayah Indonesia memang hujan, termasuk Sumatra Selatan, Jawa bagian Barat, dan sebagian wilayah Kalimantan. Namun, ketika wilayah-wilayah itu hujan, wilayah Riau justru kering. Bahkan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan kekeringan bertambah pada Agustus mendatang. Sehingga potensi kebakaran hutan di Riau akan meningkat," kata Sutopo.
Luas cakupan wilayah yang dilanda kebakaran, menurut Sutopo, belum diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan perkiraan tim pemadaman di barat, ada sekitar 240 hektare lahan yang dilalap api.
Sejauh ini, upaya pemadaman masih berlangsung. Sutopo mengaku pihaknya dibantu TNI dan Brimob yang masing-masing mengerahkan 100 personel.
"BNPB mengerahkan satu pesawat Hercules C-130 dan satu pesawat Cassa untuk memodifikasi cuaca. Ada pula empat helikopter jenis Bolkow, Sikorsky, Mi-8, dan Kamov untuk water bombing," kata Sutopo kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Berbagai metode tersebut, sambungnya, ialah solusi sementara. Padahal, yang diperlukan guna menghentikan pola kebakaran hutan setiap tahun ialah solusi permanen berupa penegakan hukum.
"Sebanyak 99% kebakaran hutan disengaja. Karena itu, efektivitas patroli, pengejaran, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran sangat penting untuk menimbulkan efek jera. Selama itu tidak dilakukan, biaya pemadaman akan sangat besar," ujarnya.
Pemantauan
Guna memudahkan pemantauan kebakaran hutan dan penegakan hukum, lembaga World Resources Institute (WRI) meluncurkan sistem pemantau berbasis online yang disebut Global Forest Watch Fires (GFW-Fires).
Kepada BBC Indonesia, Nigel Sizer selaku Direktur Program Kehutanan WRI mengatakan sistem itu memantau kebakaran hutan dengan dilengkapi peta lokasi titik api, pencitraan satelit beresolusi tinggi, perusahaan pemegang konsesi lahan, serta data cuaca.
Bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, laman http://fires.globalforestwatch.org/ dapat diakses semua lapisan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka dapat mengantisipasi kebakaran hutan dengan cepat.
"Anda bisa melihat titik api yang sedang menyala, nama perusahaan pemegang konsesi lahan tempat kebakaran hutan berlangsung, hingga setiap pohon di lokasi tersebut," kata Nigel.
Situs ini menggabungkan teknologi canggih, termasuk peranti lunak Google Earth, pencitraan satelit Digital Globe, hingga peranti lunak informasi geografi Esri.
Sistem pemantau seharga beberapa ratus ribu dollar AS yang disumbang pemerintah Norwegia, pemerintah Inggris, dan pemerintah Amerika Serikat itu diharapkan bisa berkontribusi dalam dua aspek.
Pertama, mempercepat respons saat kebakaran hutan terjadi.
Menurut Sizer, masyarakat dapat langsung melihat lokasi mana saja yang tengah dilanda kebakaran hutan.
Masyarakat juga bisa melanggan sistem peringatan yang terhubung dengan surat elektronik sehingga ketika kebakaran terjadi mereka akan dapat langsung melihat lokasi insiden secara spesifik.
Dengan demikian, sistem pemantau akan memangkas waktu yang diperlukan lembaga-lembaga terkait untuk merespons.
Saat ini, diperlukan dua hari untuk merespons kebakaran hutan.
Yang kedua, mempermudah proses penegakan hukum.
"Pencitraan satelit beresolusi tinggi memberikan informasi kapan dan di mana kebakaran hutan terjadi. Tak hanya itu, pencitraan satelit membuat masyarakat dan pemerintah bisa melihat gambaran yang jelas di lokasi kebakaran. Hal ini membuat pemerintah dapat menangkap pelaku pembakaran," kata Sizer.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR