Kebutuhan darah di Indonesia sangatlah tinggi, dimulai dari untuk menolong persalinan, mengobati suatu penyakit, dan juga penanganan ketika terjadi suatu kecelakaan yang korbannya mengalami kekurangan banyak darah. Adanya anggapan miring mengenai transfusi darah yang dilaksanakan oleh Palang Merah Indonesia atau PMI. Salah satunya mengenai mahalnya harga darah yang dibutuhkan per kantongnya.
Masalah mengenai mahalnya harga satu kantong darah yang sekarang mencapai Rp360.000 per kantong membuat masyarakat bertanya, kenapa mahal sekali untuk membeli satu kantong darah? Dr. Farid selaku selaku Ketua Pengurus Pusat PMI Bidang Kesehatan, Bantuan Sosial, Donor Darah dan Rumah Sakit PMI menegaskan, “Semua darah dari PMI itu gratis gak harus bayar! Tapi, memang ada biaya yang harus di keluarkan, tapi untuk BPD atau biaya pemrosesan dari darah itu sendiri karena tak bisa langsung disalurkan dari pendonor ke penerima bukan buat bayar darahnya,”
Setiap biaya yang dikeluarkan ketika membutuhkan darah adalah untuk biaya BPD bukannya harga si darah itu sendiri.
Proses pengambilan darah dari pendonor memang tidak bisa langsung diberikan kepada penerima, ada tahapan yang harus dilakukan selama enam jam sebelum darah bisa diberikan kepada penerima harus melalui tahap uji kelayakan bebas dari penyakit seperti HIV, Malaria, dan Hepatitis. Juga dilihat kualitas darah yang bisa diberikan kepada penerima. Harga kantong darah yang masih impor pun menjadi salah satu faktor kenapa harga sekantong darah begitu mahal.
Yang harus diluruskan disini adalah, setiap biaya yang dikeluarkan ketika membutuhkan darah adalah untuk biaya BPD bukannya harga si darah itu sendiri. Di Indonesia sendiri membutuhkan kantong darah sekitar lima juta pertahunnya dari dua persen jumlah penduduk setiap daerah. Sementara di DKI Jakarta menurut Ketua PMI DKI Jakarta Rini Sutiyoso, Ibu Kota membutuhkan 800 sampai 1.000 kantong darah per harinya.
Semoga penjelasan ini bisa memberikan informasi mengapa donor darah gratis tapi penerimanya harus bayar yang selama ini masih cukup membuat bingung masyarakat.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR