Betang (rumah panjang) Uluk Palin yang merupakan salah satu cagar budaya terpenting di Kalimantan, terbakar habis dalam musibah kebakaran yang terjadi Sabtu (13/9) malam hingga Minggu (14/9) dini hari. Tidak ada korban jiwa dalam musibah tersebut. Namun, hampir semua harta benda komunitas sub-etnis Dayak Tamambaloh Apalin yang mendiami betang tersebut lenyap.
“Menurut sumber saya, kebakaran terjadi akibat warga lupa memadamkan tungku yang menggunakan kayu bakar. Saya sudah tengok dan benar adanya. Rumah tersebut sejak pagi ini hanya tersisa tiang-tiangnya,” jelas Hermas Maring, Ketua Komunitas Masyarakat Pariwisata Kapuas Hulu (Kompakh) yang berbasis di Putussibau, ketika dihubungi via telepon Minggu (14/9). Rumah betang Uluk Palin sendiri berlokasi di Dusun Sungai Uluk Palin (Sungolo’ Palin dalam lafal setempat), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dengan kendaraan bermotor, lokasinya dapat dicapai dalam waktu sekitar 20 menit dari Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu.
Dihuni lebih dari 500 jiwa (130-an kepala keluarga) menurut data tahun 2007, betang yang panjangnya 268 meter (terpanjang di Kalimantan), tingginya 5-6 meter, dan memiliki 53 bilik rumah (sebelumnya 63 bilik) ini tak diketahui persis pada tahun berapa pertama kali dibangun. Diperkirakan, rumah pertama didirikan oleh komunitas Tamambaloh Apalin pada tahun 1800-an. Kemudian, betang ini pernah diperbaiki pada 1940-an karena kebakaran. Betang juga telah tiga kali berpindah lokasi karena menyesuaikan dengan perubahan alur Sungai Uluk dan Sungai Nyabau akibat erosi.
Majalah National Geographic Indonesia pernah menerbitkan cerita mengenai rumah panjang Uluk Palin dan kehidupan komunitas masyarakatnya dalam edisi Mei 2007. Dalam konteks sosial dan budaya, betang sangatlah penting bagi masyarakat Dayak. “Seluruh kehidupan sosial dan tradisi berpusat di betang,” jelas Yosefina Anggraini, antropolog Universitas Indonesia, dalam artikel tersebut.
“Saat terjadi kebakaran tadi malam, sebagian warga sedang menginap di ladang. Kami perkirakan, lebih dari 70 persen harta benda masyarakat hilang terbakar,” jelas Hermas. Segera setelah musibah tersebut, Kompakh, WWF, dan beberapa pihak lainnya membuka posko dekat lokasi. “Kami sedang berkoordinasi agar bantuan dari masyarakat kepada komunitas ini dapat disalurkan melalui rekening bank,” jelas Hermas.
Tumenggung (kepala adat) masyarakat Tamambaloh Apalin, Moses Salo, tidak dapat dihubungi telepon genggamnya. “Pak Salo kemungkinan besar sedang sibuk di lokasi. Di sana sulit mendapat sinyal, ‘kan. Saya sendiri baru kembali ke Putussibau setelah pagi dari sana,” tutup Hermas.
Penulis | : | |
Editor | : | Reni Susanti |
KOMENTAR