Nationalgeographic.co.id—Masakan atau makanan adalah bagian dari kebudayaan orang-orang yang biasa mengonsumsinya. Dari makanan, kita bisa mempelajari kebudayaan orang lain. Begitu pula sebaliknya, dengan mempelajari kebudayaan orang lain kita juga bisa tahu makanan khas orang tersebut.
Selain dengan membaca, kita juga bisa belajar kebudayaan orang lain dengan bepergian ke wilayah orang tersebut. Kegiatan bepergian ataupun membaca tentang masakan budaya lain, akan membawa kita untuk belajar tentang berbagai kuliner lezat di berbagai belahan dunia.
Namun ada banyak juga kuliner ekstrem di berbagai wilayah dunia. Beberapa di antaranya adalah kuliner yang menjadikan hewan-hewan tertentu yang masih hidup sebagai santapan.
Berikut ini adalah beberapa hewan yang dimakan hidup-hidup oleh orang-orang di beberapa belahan dunia.
1. Semut
Dikutip dari ABC News, sebuah restoran di Kopenhagen, Denmark, menyajikan semut hidup-hidup dalam saladnya sebagai alternatif crouton yang renyah dan bebas gluten. Rasa semut-semut yang kriuk-kriuk diklaim seperti jahe, ketumbar, dan serai.
Senada dengan laporan ABC News, Treehugger juga pernah memberitakan bahwa restoran Denmark yang sangat terkenal bernama Noma telah menggunakan semut hidup dalam banyak hidangannya yang terkenal. Koki terkenal di balik pilihan menu ini adalah Rene Redzepi. Dalam sebuah wawancara dengan Fine Dining Lovers, Redzepi menegaskan semut menawarkan sedikit rasa jeruk nipis yang asam dan segar.
2. Bulu babi
Hewan berbentuk bola dengan penuh duri hitam seperti jarum yang bisa menusuk kita ini kerap juga disebut sebagai landak laut. Meski terlihat agak menyeramkan, kenyataannya babi kerap dimakan hidup-hidup di sekitar Mediterania.
Baca Juga: Warung Angkringan: Saluran Ruang Ekspresi Publik dalam Masyarakat Jawa
Makhluk laut yang penampilannya tidak terlalu menggugah selera memiliki telur dan daging yang beraroma amis. Meskipun sering dimakan mentah, seperti dalam sushi (biasanya disebut "uni"), beberapa orang lebih suka memakannya hidup-hidup atau memakannya segera setelah dipotong terbuka.
Baca Juga: Di Vietnam, Daging Tikus Menjadi Makanan Populer yang Digilai
3. Ikan
Di Jepang, kamu bisa makan ikizukuri, atau ikan fillet yang disajikan saat jantung ikan itu masih berdetak dan mulut ikan itu masih terengah-engah. Tubuh ikan yang hancur itu disusun di atas piring dengan kepalanya yang terlihat masih hidup digunakan sebagai hiasan. Untuk alasan etis, hidangan ini dilarang di banyak negara.
Hidangan ikan hidup juga populer di Tiongkok. Hidangan ini disebut sebagai "ikan yin yang," di mana tubuh ikan digoreng dengan cepat dan disajikan saat kepalanya masih segar dan bergerak.
4. Udang
Odori Ebi adalah hidangan Jepang berupa sashimi yang berisi udang muda yang masih hidup dan masih bisa menggerakkan kaki dan antenanya saat dimakan. Makanannya disiapkan dengan cepat, dan sering kali udang dituang ke dalam sake sehingga membuat udang mabuk itu sebelum dimakan.
Baca Juga: Sedap! Santapan Favorit Diktator Dunia, Ada yang Aneh dan Sederhana
Hidangan "udang mabuk" juga populer di Tiongkok. Dalam hidangan ini, udang pertama kali disiram dengan minuman keras yang membuat krustasea kecil itu mabuk dan pingsan. Piring biasanya diletakkan di atas mangkuk tempat udang itu disiram dengan minuman keras untuk mencegah udang tersebut melompat keluar.
5. Gurita
Di Korea, sajian makanan berupa gurita yang masih hidup disebut sebagai sannakji. Dalam hidangan kuliner ini, gurita keci dipotong-potong dan disajikan saat masih hidup dan menggeliat, dan dianggap sebagai makanan lokal yang lezat.
Para penikmat Sannakji tak hanya menikmati rasa daging segar. Mereka juga sensasi tabung-tabung hisap yang masih aktif di lengan-lengan gurita saat menempel di mulut, bahkan di tenggorokan mereka. Para pemula yang baru mencoba makanan ini disarankan untuk mengunyah gurita tersebut hingga halus sepenuhnya sebelum menelannya untuk menghindari risiko tersedak.
Baca Juga: Kenapa Daging Perut Babi Begitu Digilai oleh Orang-orang Korea?
Source | : | treehugger,ABC News |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR