Kita pasti sering mendengar kasus pembakaran dan penggundulan untuk membuka lahan, di antaranya terjadi di Amazon, Brasilia. Tindakan tak bertanggung jawab ini merupakan penyumbang terbesar emisi karbon yang memicu perubahan iklim. Hal ini pun sudah menjadi sorotan dunia. (Baca di sini)
Sayangnya sebagai negara yang sering sekali terjadi pembakaran dan penggundulan hutan, Brasilia justru menolak pakta mengurangi deforestasi.
Pada KTT Iklim oleh PBB yang dihadiri 27 pemimpin negara—termasuk Amerika Serikat dan perwakilan multinasional besar—menandatangani Deklarasi New York untuk Hutan.
Tujuan pakta itu untuk memotong laju deforestasi yang marak terjadi agar berkurang 50 persen pada tahun 2020. Sehingga hilangnya hutan dapat teratasi pada tahun 2030 mendatang. Selain melakukan pencegahan deforestasi, perjanjian itu pun berisi penanaman kembali hutan sebesar satu juta mil persegi di seluruh dunia.
Langkah besar pun diambil perusahan besar dunia untuk hanya menggunakan minyak sawit “berkelanjutan”—sawitnya ditanam pada lahan yang sudah dibuka sejak dahulu. Semua negara pemilik hutan terbesar, seperti Indonesia, Filipina, dan Kostarika menyetujui pakta itu.
“Sayangnya, kami [Brasilia] belum melakukan konsultasi,” ujar Menteri Lingkungan Brasilia, Izabella Teixeira kepada Associated Press. Menurutnya tidak mungkin pakta itu berhasil, jika Brasilia tidak bergabung.
Di sisi lain, Charles McNeill, Penasihat Senior Kebijakaan Lingkungan PBB, pakta ini memang ditolak oleh Brasilia.
Berdasarkan data dari Guardian tahun 2009, Brasilia memiliki 478 juta hektare dan menjadikannya negara kedua dengan hutan terbesar di dunia. Baru-baru ini, Pemerintah Brasilia mengumumkan sebuah data dari Union of Concerned Scientists bahwa deforestasi telah berkurang 67 persen.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR