Selama 14 tahun setiap tanggal 30 September, televisi Republik Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Suharto menyiarkan Pemberontakan G30SPKI. Sebuah film bergenre drama semi dokumenter mengenai kegagalan Partai Komunis Indonesia dalam melakoni kudeta.
Film tersebut menggambarkan kalangan komunis sebagai penjahat dan Suharto sebagai penyelamat Indonesia. Gambaran itu mewakili pandangan resmi selama 32 tahun rezim Suharto.
Akan tetapi, sejak Indonesia bertransisi ke demokrasi—yang dimulai dengan tumbangnya Suharto pada Mei 1998—rakyat negara ini telah mempertanyakan sejarah era 1960an. Ahli sejarah, wartawan, pembuat film, aktivis dan bahkan pejabat telah mulai menyusun pandangan alternatif terhadap sejarah versi militer.
Film Pemberontakan yang dibuat pada 1984 didasari pada sejarah yang dituturkan oleh seorang ahli sejarah militer dan dibiayai oleh rezim Suharto. Film itu banyak digunakan sebagai alat propaganda. Menurut Arifin Noer—selaku salah seorang pembuat film itu—adegan-adegan di film Pemberontakan menggambarkan kekerasan dan kerap dibesar-besarkan tapi merefleksikan pandangan sejarah yang diajarkan di buku pelajaran sekolah. Setelah Presiden Suharto lengser pada 1998, sejarah versi militer mulai dipertanyakan.
Pada 2013, rakyat Indonesia bisa mengunduh The Act of Killing, film karya sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. The Act of Killing menyuguhkan pandangan alternatif atas apa yang terjadi selama 1965-1966, periode pembantaian yang disebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Selain The Act of Killing, ada pula novel berjudul Pulang karya Leila Chudori yang mengangkat kisah keluarga yang diduga komunis. Novel itu dibuat Leila berdasarkan wawancara yang ia lakukan selama enam tahun tentang periode sesudah 30 September 1965.
Di bawah mantan Presiden Suharto, Indonesia memimpin perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) sebagai penentang komunis. Bersamaan dengan masa kepemimpinan Suharto, keberadaan partai-partai komunis dilarang di kawasan Asia Tenggara.
Ironisnya setelah Suharto lengser, negara-negara sosialis terbesar di Asia Timur bergerak menjauhi masa lalu komunis mereka dan mengadopsi model kapitalis untuk pembangunan. Kejatuhan Uni Soviet pada 1991 mengirim pesan kuat ke negara-negara Asia yang telah mengadopsi model pembangunan ekonomi negara sentris.
!break!"Warisan komunisme adalah bahwa ia telah gagal sebagai sistem ekonomi," kata Don Greenlees, seorang cendekiawan Asia Timur dari jurusan Hubungan Internasional di Australian National University, Canberra. "Mereka hanya bicara, tapi faktanya mereka menjadi negara ekonomi kapitalis,” tambahnya.
Partai komunis Tiongkok, selaku partai komunis terbesar Asia mengklaim mengikuti prinsip asli Marx-Lenin. Tetapi sejak akhir 1970-an, Tiongkok secara berangsur merancang kebijakan pasar dan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Pada 2001, Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan siap menjadi ekonomi terbesar dunia pada 2025.
Vietnam yang mengejar reformasi Doi Moi pada 1986 pun berada di arah yang sama. Meski Vietnam memberlakukan sensor ketat terhadap media sebagaimana layaknya rezim komunis, Vietnam justru mengejar kebijakan pro investasi kapitalis. Vietnam kini bergantung pada investasi langsung asing untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan merupakan anggota WTO, APEC dan Asean.
Sebuah pertanyaan besar menghadapi calon penerus partai berkuasa Tiongkok dan Vietnam, bagaimana generasi kader partai yang lebih muda menginterpretasikan sosialisme begitu para pemimpin di usia 80-an pensiun dan meninggal dunia?
Generasi millenia Tiongkok dan Vietnam, seperti juga anak muda di Indonesia, sangat bergantung dengan internet dan tersambung 24 jam dengan telepon genggam serta media sosial dan nyaris tidak tersentuh dengan pesan-pesan revolusi.
Indonesia sejak 1998 telah berjuang menghadapi hantu komunisnya sendiri. Apakah kematian komunisme tidak terhindarkan lagi di Asia Timur pada saat ekonomi mereka semakin mengglobal?
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR