Ide sebuah inovasi bisa datang dari mana saja. Tak terkecuali ketika sedang menonton televisi. Itulah yang dialami Kristiawan Manik dan Ricky Nathaniel Joevan, mahasiswa Universitas Surabaya (Ubaya).
Dari tayangan televisi soal kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan roda dua ternyata penyebab terbanyak adalah rasa kantuk.
Dari tayangan itu mereka terpikir untuk membuat helm antikantuk. "Helm antikantuk sebenarnya sudah ada, tapi harganya mahal, karena menggunakan gelombang syaraf otak," kata Ricky. Mereka berdua tertantang untuk membuat helm antikantuk dengan harga murah.
Menurut Ricky, helm antikantuk yang memanfaatkan gelombang syaraf otak mahal karena harga dari alat deteksi gelombang syaraf otak itu lebih dari Rp10 juta. Bagaimana kedua mahasiswa ini mengakali harga yang mahal itu?
Jawabannya menggunakan denyut nadi. Denyut nadi ini dijadikan sensor kantuk seseorang ketika mengemudi. "Denyut nadi seseorang itu normalnya 80 denyut/menit dan kalau lebih rendah dari itu berarti orang itu mengantuk," kata Ricky.
Meski denyut nadi normal adalah 80 denyut tiap menit, namun denyut nadi mengantuk pada setiap orang bisa berbeda. "Bisa saja ada orang yang mengantuk pada 60 denyut/menit, tapi alat itu bisa disesuaikan dengan ukuran setiap orang," Ricky menambahkan.
Alat yang diberi nama Anti-Drowsing System (Androsys) itu bekerja dengan menjejak denyut nadi pengendara melalui alat sensor (micro-controler) yang dipasang pada bagian tubuh seseorang yang memiliki urat nadi. Begitu denyut nadi berada di bawah level 80 denyut/menit maka vibrator yang dipasang di dalam kerangka helm akan bergetar dan menyadarkan pengendara.
Sensor itu untuk sementara dipasang di leher pengendara. Namun nantinya akan dipasang tali helm untuk mendukung program safety riding dari kepolisian. Lalu alat sensor ini menghasilkan output untuk vibrator yang terpasang pada batok kepala dari helm anti kantuk ini. Akhirnya akan bergetar secara berkala ketika denyut nadi pengendara motor turun di bawah angka normalnya.
Ricky menjelaskan bahwa vibrator itu dipasang pada bagian dalam helm (di atas kepala/ubun-ubun) melalui pelubangan kecil tanpa mengurangi fungsi keamanan helm standar.
"Produk kami itu mendapat dana hibah Rp9,5 juta dari Kemdikbud melalui PKM-KC (Program Kreativitas Karsa Cipta)," katanya.
Meski tidak terpilih untuk mengikuti PIMNAS 2014 di Semarang, Ricky tak berputus asa. Dia malah mengikutsertakan produk itu dalam "International Invention Inovation and Design (IIID)" di Universiti Teknologi Mara (UiTM) Segamat, Johor, Malaysia.
"Hasilnya, produk kami dinyatakan sebagai temuan baru dan sukses dinobatkan menjadi peraih medali emas untuk kategori Invention. Itu jauh melebihi target kami. Harapannya, kami akan mengembangkan Androsys untuk pengemudi bus dan truk yang sering jalan malam," kata Ricky.
Diperkirakan harga helm antikantuk itu nanti tak lebih dari Rp500.000. Cukup bersaing dengan helm kebanyakan bukan?
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR