Setelah menikmati perjalanan kereta, ada petualangan menarik menyusuri jejak kuliner masa lalu. Kami memulai petualangan dari sate maranggi. Sesampainya di Stasiun Cianjur, rasa lapar menusuk perut. Kami tak sabar menyantap makanan khas setempat. Dari lima orang yang kami tanya, paling banyak menyebut sate maranggi.
Kami menemukan Warung Sate Maranggi Ma Nunung, Jalan Hasyim Ashari, sekitar 15 menit dari stasiun menggunakan angkutan kota warna merah. Kedai ini disebut-sebut paling terkenal di Cianjur.
Tak sabar ingin membuktikan, ternyata sate di kedai ini terasa empuk. Dagingnya has dalam. Sebelum dibakar, daging direndam dalam adonan bumbu berupa ketumbar, gula merah, dan kecap. Rasa satenya mirip seperti rasa dendeng, tetapi dagingnya empuk tak berlemak.
Ada pilihan pendamping makan sate maranggi, nasi uduk kuning dan ketan bakar. Sambal oncom sebagai pendamping sate ini tak kalah nendang. Warung ini buka setiap hari pukul 07.00-23.00. Kedai ini tak berubah meski sudah berdiri sejak 1980-an.
Selain sate maranggi, ada juga makanan lawas yang kini mulai langka di Cianjur, yaitu taoge dan taoco atau disingkat dengan geco. Di Cianjur, konon hanya tersisa satu penjual yang terdapat di Jalan Siti Jenab bernama Pak Iding. Geco mirip dengan taoge goreng di Bogor. Bedanya, dari bumbu taoconya dan campuran mi khas Cianjur berwarna kuning gelap.
Dari geco ini kami memulai petualangan menelusuri asal muasal taoco Cianjur. Taoco Cianjur memiliki cerita sejarah panjang. Adapun produsen taoco paling terkenal adalah taoco Cap Meong yang dikembangkan keluarga Tan Ken Yan sejak tahun 1880 hingga kini.
Taoco Cianjur adalah bumbu makanan yang terbuat dari biji kedelai (Glycine max) yang telah direbus, dihaluskan, dan difermentasi berbulan-bulan. Bau taoco Cap Meong terkenal wangi, rasanya khas gurih campur masam. Resepnya dan proses produksinya, ujar Stefani (23), generasi keempat, masih terjaga asli sejak zaman dulu.
Peralatan yang digunakan untuk membuat taoco sebagian sudah berusia puluhan tahun, salah satunya gentong tempat proses fermentasi. Cara masak kedelai pun tetap menggunakan kayu bakar. Taoco Cap Meong dijual dalam kemasan botol ukuran 350 miligram seharga Rp 20.000 dan kemasan 250 miligram seharga Rp 15.000. Taoco ini dapat bertahan lebih dari seminggu tergantung cara penyimpanan. ”Lebih baik diletakkan dalam kulkas,” kata Stefani.
Tidak hanya itu, Cianjur memiliki pabrik roti legendaris Tan Keng Cu. Pabrik ini didirikan keluarga Tan Keng Cu sejak tahun 1926. Bertahun-tahun pabrik itu ikut berkontribusi terhadap perekonomian warga setempat. Pemilik pabrik menjalin kerja sama dengan warga lewat sistem bagi hasil penjualan.
Mereka berjualan di pabrik di sepanjang Jalan HOS Cokroaminoto. Tak ada risiko rugi bagi warga yang menjual roti Tan Keng Cu. Sebab, jika tidak laku, roti dikembalikan ke pabrik.
Selain enak, roti buatan keluarga Tan dikenal murah. Ada berbagai macam roti yang dijual mulai dari harga Rp 2.500 hingga Rp 5.000 per bungkus.
Usaha roti yang kini diteruskan generasi kedua bernama Mulyana Suwarna (73) juga mengalami pasang surut. Produksi roti terhenti dari tahun 1959 hingga 1961 karena pemerintah menghentikan impor terigu. ”Pada 1962 kami mulai memproduksi lagi setelah pemerintah kembali impor terigu,” ujarnya.
Berangkat dari tradisi membuat roti, dari keluarga Tan lahir koki kelas dunia bernama Handi Mulyana. Handi dikenal ahli membuat kue pesanan selebritas dunia. Handi juga mengajar membuat kue di sejumlah sekolah. ”Anak saya sering mengajar kelas membuat roti di Singapura, tetapi tidurnya di Cianjur,” kata Mulyana.
Dari Fiksi Jadi Memori: Kisah Siti Nurbaya Jadi Identitas yang Kuat di Kota Padang
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR