Mulai dari telepon fixed line hingga koneksi data seluler berkecepatan tinggi.
Telekomunikasi dianggap bagian lumrah dari kehidupan modern, termasuk di Indonesia.
Tak terbayang betapa dulu seorang kurir mesti memacu kudanya sekuat tenaga, siang malam menempuh halang-rintang, demi menyampaikan sepotong pesan yang kini bisa dikirim dalam sekejap mata lewat instant messenger.
Antara kurir berkuda dan pesan instan itu, terdapat masa peralihan selama lebih dari 150 tahun yang mengantarkan masyarakat Indonesia menuju era telekomunikasi seperti yang kita kenal sekarang.
Inilah evolusi telekomunikasi kita dari zaman ke zaman.
!break!Huruf demi huruf
Jauh sebelum jaringan telepon—apalagi internet—terpikirkan, manusia berkirim pesan "jarak jauh" dengan isyarat, menggunakan sarana macam asap api unggun, semapur, dan kurir tadi.
Fajar baru telekomunikasi dimulai ketika Samuel Morse menciptakan sistem telegraf listrik pada 1837. Penemuan itu memungkinkan orang-orang mengirim pesan dalam abjad latin, huruf demi huruf melalui jaringan kabel hingga berkilometer jauhnya, bahkan hingga lintas benua.
Telegraf diboyong ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1855, menghubungkan kota Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Sejak itu alat pengirim pesan tersebut mulai banyak digunakan, hingga masuknya jaringan telepon pertama di Batavia tahun 1882.
Dua tahun berikutnya, pada 1884, sambungan telepon dibangun di Semarang dan Surabaya. Pengelolanya ketika itu adalah perusahaan swasta “Intercommunaal Telefoon Maatschappij” yang mendapat izin konsesi selama 25 tahun dan hanya membangun jaringan di kota-kota besar karena mencari untung.
Berikutnya, pada 1906, pengelolaan jaringan telepon diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan “Post Telegraaf en Telefoondienst”.
!break!Menyatukan Nusantara
Hingga beberapa puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia, pada dekade 60-an, jaringan telepon yang kemudian dikelola “Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi” (PN Postel, saat ini PT Telkom) masih mengandalkan teknologi kuno seperti sentral telepon manual dan saluran kawat terbuka yang sering mengalami gangguan.
Lompatan besar terjadi pada 1976 ketika Indonesia meluncurkan satelit pertama, Palapa A1. Sesuai dengan namanya yang diambil dari sumpah Mahapatih Gajah Mada, Palapa A1, wahana antariksa bikinan “Hughes Aircraft Company” itu, mengemban misi mempersatukan nusantara lewat telekomunikasi.
Karena Palapa A1 yang mengorbit di ketinggian 36.000 km inilah, Indonesia dikenal sebagai negara ketiga yang memiliki satelit pemancar domestik (SKSD, Sistem Komunikasi Satelit Domestik) setelah Amerika Serikat dan Kanada.
Satelit mempermudah hubungan antardaerah di Indonesia yang berbentuk kepulauan. Palapa tidak hanya bisa digunakan untuk meneruskan sinyal telepon dari satu wilayah ke yang lain, melainkan juga memancarkan gelombang televisi dan radio ataupun informasi dalam bentuk lain seperti faksimili, termasuk juga keperluan perbankan.
Palapa A1 digantikan oleh satelit-satelit penerus, yakni seri B, C, dan terakhir Palapa D yang menyusul diluncurkan ke orbit pada tahun-tahun berikutnya.
!break!Kapanpun dan di manapun
Indonesia adalah salah satu negara pertama yng mengadopsi teknologi seluler versi komersil lewat NMT (Nordic Mobile Telephone) pada 1984. Ketika itu, pada periode 1985-1992, telepon seluler alias ponsel sudah mulai beredar di Indonesia.
Tapi, jangan berpikir bentuknya seperti ponsel langsing masa kini. Model-model ponsel pertama yang dipasarkan tak ubahnya telepon rumah yang bongsor dengan bobot mencapai kisaran setengah kilogram. Banderolnya sangat mahal, di atas Rp 10 juta per unit pada dekade 80-an. Harga dan ukurannya jelas tak muat apalagi nyaman di kantong.
Pun begitu, kehadiran ponsel menandai perubahan penting dalam era telekomunikasi, karena para pemiliknya bisa dihubungi kapanpun dan di mana pun, tak perlu lagi berdiam di depan pesawat telepon fixed line.
Beberapa tahun setelah masa awal seluler, menjelang akhir 1993, PT Telkom memulai proyek percontohan seluler digital Global System for Mobile (GSM) di pulau Batam dan Bintan.
Dibanding teknologi seluler sebelumnya, GSM memiliki kelebihan berupa digunakannya chip Subscriber Identity Module (SIM card) yang relatif aman dari penggandaan dan penyadapan, di samping memungkinkan pelanggan berganti handset tanpa mengubah nomer telepon.
Tahun berikutnya, pada 1994, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) memulai kiprah sebagai operator GSM pertama di Indonesia, dengan wilayah operasi Jakarta dan sekitarnya. PT Telkom segera menyusul dengan mendirikan anak usaha bernama Telkomsel.
Pada penghujung 1996, operator seluler ketiga di Indonesia didirikan, yaitu PT Excelcomindo Pratama (kini XL Axiata). Hingga kini, ketiganya tetap menduduki tangga teratas operator seluler Indonesia dengan jumlah pelanggan mencapai 270 juta pada kuartal pertama 2014.
!break!Era internet mobile
Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata serentak meggelar telekomunikasi seluler generasi ketiga (3G) secara komersial pada akhir tahun 2006.
Teknologi ini antara lain meningkatkan kecepatan koneksi internet broadband pada ponsel yang bisa mencapai hitungan megabit per detik. Cukup kencang untuk streaming video dan aneka konten lain dari jaringan internet.
Jumlah pelanggan data seluler pun berangsur naik. Asosiasi Telekomunikasi Indonesia (ATSI) memperkirakan jumlah pelanggan layanan data pada 2013 mencapai 115 juta. Angka tersebut diprediksi naik sebesar 40 persen pada tahun ini.
Bersama dengan pertumbuhan data seluler, cara kita berkomunikasi pun mengalami pergeseran. Hubungan jarak jauh secara langsung tak lagi sebatas membaca simbol, teks, atau mendengar suara.
Apalagi, dengan makin maraknya ponsel pintar atau smartphone yang penetrasinya di Indonesia pada 2014 diperkirakan bisa mencapai 30 persen dari keseluruhan jumlah ponsel.
Aneka sarana pesan instan, jejaring sosial, konferensi video dan lain sebagainya kini siap mengakomodidasi kebutuhan masyarakat Indonesia untuk saling berinteraksi antar sesama. Kapanpun, di manapun.
!break!Konvergensi
Ponsel pintar dalam bentuknya saat ini membuat batas-batas media menjadi kabur. Ketika khalayak mengakses surat kabar di Internet dan melihat video yang terintegrasi pada halaman itu, apakah dia tengah membaca koran, mengakses internet, atau sebagai pemirsa televisi?
Internet, teknologi komunikasi, komputer, dan digitalisasi konten mengaburkan batas-batas media lama dan baru. Tidak cuma itu, perangkat tunggal bernama ponsel pintar itu bahkan menyatukan juga fungsi kamera, komputer, alat perekam audio dan video, bahkan aneka layanan perbankan dapat kita lakukan dalam genggaman.
Dulu, tak pernah terbayangkan kita bisa belanja, membayar tagihan listrik, mengecek rekening, membeli pakaian dalam, sepeda motor, mobil, hingga mengatur urusan pembelian saham melalui sebuah layar kecil dalam genggaman kita.
Ithiel de Sola Pool, ilmuwan Amerika di bidang ilmu sosial, menyebut aneka fungsi yang bisa dilakukan oleh ponsel pintar sebagai konvergensi. Pool sering disebut sebagai nabi konvergensi. Pada 1983, dalam bukunya “Technologies of Freedom”, jauh sebelum era konvergensi terjadi di era milienium ini, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana konvergensi masa depan akan terjadi.
Model konvergensi di masa depan itu, kata Pool, mengaburkan batas antar media seperti telepon, radio, dan televisi. Jika sebelumnya layanan komunikasi berlangsung secara terpisah, di masa depan layanan komunikasi yang mengaburkan batas media itu akan berlangsung bersamaan dalam satu alat.
Setahun setelah bukunya terbit, pada tahun 1984 Pool meninggal. Ia tak pernah sempat melihat barang yang diramalkannya itu: ponsel pintar.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR