Permintaan maaf pimpinan sebuah masjid kepada pimpinan sebuah gereja di Kota Malang lantaran kegiatan shalat Idul Adha yang digelar masjid itu menyebabkan kebaktian gereja tertunda menimbulkan ribuan simpati di media sosial.
Gelombang simpati itu muncul setelah stasiun radio Suara Surabaya memuat berita "permintaan maaf" itu di laman Facebook, Twitter, dan portal resminya, Minggu (5/10) lalu.
Lebih dari 34.000 pengguna Facebook menyatakan like (suka) dan berita ini telah di-share (dibagikan) sebanyak 2.776 hingga Kamis (9/10) malam.
Sementara berita itu—yang menampilkan aktivitas shalat Idul Adha dengan latar gereja—memunculkan lebih dari 2.000 komentar yang sebagian besar menyatakan simpati atas sikap toleransi pimpinan dua tempat ibadah yang letaknya tidak berjauhan itu.
"Indahnya kebersamaan, bisa saling mengerti dan memahami walaupun berbeda agama," tulis salah seorang. Komentar seperti ini juga diungkapkan para pembaca lainnya.
Ada pula yang berkomentar pendek, "Terima kasih teman-teman, Kristen...." dan banyak pula yang bersimpati sikap pimpinan masjid yang bersedia meminta maaf.
Sebagian berkomentar bahwa toleransi seperti ini sudah dipraktikkan di daerahnya, tetapi ada yang berharap ini bisa dicontoh di tempat lain di Indonesia.
Hanya sedikit yang antipati atau sinis terhadap isi berita tersebut.
"Indahnya kebersamaan, bisa saling mengerti dan memahami walaupun berbeda agama."
Mengapa meminta maaf?
Masjid Agung, yang merupakan masjid berukuran besar dan tertua di Kota Malang, letaknya sekitar 200 meter dari Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB) Immanuel, yang juga salah-satu gereja tertua di kota itu.
Seperti shalat Idul Fitri atau Idul Adha pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah peserta ibadah dapat mencapai 35.000 sehingga meluber sampai di depan gereja tersebut.
Akibatnya, jika waktu ibadahnya digelar secara bersamaan, maka salah-satu pihak harus menunda acara ibadahnya, terutama pihak gereja.
Hal ini terulang saat shalat Idul Adha pada Minggu (5/10) lalu, tetapi kali ini pimpinan Masjid Agung menyatakan permintaan maaf kepada pimpinan gereja Immanuel tersebut.
"Saya mengucapkan terima kasih kepada gereja dan meminta maaf karena kebaktiannya ditunda," kata Ketua takmir Masjid Agung, Zainuddin Muchit, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Kamis (9/10).
Zainuddin mengutarakan "permintaan maaf" itu di hadapan jemaat shalat Idul Adha.
Menurut dia, dia harus minta maaf kepada jemaat gereja itu karena dia membayangkan penundaan tersebut akan mengganggu jadwal para jemaah gereja tersebut.
"Biasanya kebaktian jam 6 dan 7 pagi, dan sekarang harus ditunda pukul 9 pagi, padahal mungkin setelah itu mereka ada acara lain dan janjian dengan orang lain," jelasnya.
Sementara pendeta GPIB Immanuel, Emmawati Balue, mengatakan, pihaknya sejak awal sudah mengetahui bahwa jadwal ibadah mereka akan berbarengan.
"Jadi kami otomatis agar ibadah pagi diatur, waktunya disesuaikan lagi. Kami sebelumnya sudah beritahu umat (adanya penundaan dan alasannya)," kata Emmawati kepada BBC Indonesia, Rabu (8/10).
Bertetangga lebih dari seratus tahun
Sebagai tetangga, menurut Zainuddin dan Emmawati, sikap saling menenggang rasa dan menghormati seperti itu sudah dilakukan sejak lama dan tidak pernah menjadi masalah.
"Kami itu bertetangga sudah lebih dari seratus tahun," kata Ketua takmir Masjid Agung, Zainuddin Muchit.
"Dalam ajaran Islam, walaupun ada perbedaan agama, tetangga itu harus dihormati," kata Zainuddin yang telah aktif di masjid itu sejak tahun 1980-an.
Sementara pendeta Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB Immanuel), Emmawati Balu, mengatakan, mereka selama ini selalu berhubungan baik dengan pimpinan masjid tersebut.
"Karena kami menyadari kita kan ibarat rumah, kita bertetangga bersebelah rumah," kata Emmawati yang lulusan Sekolah Tinggi Teologi, STT, Jakarta (1993), kepada BBC Indonesia.
"Buat saya, itulah kebahagiaan yang bisa kita bagi sebagai sesama anak bangsa," tambahnya.
Itulah sebabnya, apabila pihak Gereja Immanuel menggelar ibadah yang dihadiri jemaat yang jumlahnya besar, mereka dapat memarkir mobil atau motor hingga di sekitar Masjid Agung, kata Emmawati.
"Juga menjelang perayaan Natal, teman-teman pengurus masjid, atau remaja masjidnya, ikut menjaga keamanan gereja," ungkapnya memberi contoh.
Siapa wartawan yang melaporkan?
Sikap saling menghormati yang ditunjukkan pimpinan dua tempat ibadah itu tidak akan banyak diketahui orang, apabila tidak ada wartawan yang memberitakan dan membagikannya di media sosial.
Restu Indah adalah penyiar dan wartawan Radio Suara Surabaya yang mendengarkan langsung "permintaan maaf" sang takmir masjid.
Restu, yang saat itu sedang libur, tetapi kemudian memutuskan untuk melaporkan dan menuliskannya di media sosial karena menganggap peristiwa itu penting.
"Saya ingin menyampaikan ini karena momentum yang luar biasa buat umat Islam dan toleransi yang besar dari umat Nasrani," kata Restu kepada BBC Indonesia, Kamis (9/10) malam.
Menurut dia, contoh baik yang ditunjukkan dua pimpinan tempat ibadah ini sangat tepat momentumnya ketika muncul aksi kekerasan sebuah kelompok yang mengatasnamakan agama di Jakarta belakangan.
"Di saat ada ramai-ramai di Jakarta, di suatu kota kecil (Malang), ada informasi yang menyejukkan buat warga Indonesia yang heterogen secara agama," katanya.
"Artinya, Indonesia itu tidak ada apa-apa (konflik mengatasnamakan agama), tapi kadang-kadang kita terprovokasi. Padahal, kita sebetulnya damai-damai saja," tambah Restu yang dibesarkan di Kota Malang.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR