Jelang senja tepatnya pukul empat sore, kami baru meninggalkan Ibu Kota menuju tujuan akhir yakni Teluk Kiluan. Saya bersama ketiga rekan menunggangi motor Yamaha V-Ixion, YZF-R15 dan YZF-R25 membelah kemacetan sepanjang jalan Daan Mogot, Tangerang. Semerawutnya lalu lintas memaksa kami ekstra hati-hati mengendalikan motor.
Matahari mulai menghilang dari langit, tanda kami harus menghentikan kendaraan untuk menunaikan salat Magrib. Ketika itu kami berada di Jalan Raya Serang, berhenti di sebuah warung sembari melepas lelah.
Jujur, inilah pengalaman pertama kami berempat menaiki motor di jalanan industri. Walau saya sebenarnya pernah melewati rute industri ini menggunakan sepeda, tetap saja pengalaman naik motor tak pernah akan terlupakan. Berbeda ketika mengayuh sepeda—salah satu kegemaran saya, mengendarai sepeda motor itu berat dan lelah tentunya.
Hari semakin malam, pukul tujuh kami pun tiba di Cilegon. Lalu lintas wilayah ini benar-benar tidak menarik juga berat. Mengapa? Selain sebagai jalur industri, tingkat ketertiban berkendara masyarakatnya sangatlah kurang. Saya temui banyak orang tak menggunakan helm, anak-anak di bawah umur berseliweran naik motor. Bahaya! Bukan hanya mereka sebagai pelaku, melainkan mengancam keselamatan saya sebagai pengguna jalan.
Saya dan rekan seperjalanan harus ekstra konsentrasi, salah-salah justru kami yang celaka. Bayangkan ada pengendara motor berbaris tiga menyamping hanya untuk mengobrol! Semerawutnya lalu lintas di Cilegon memaksa kami berempat memecah formasi dan bermanuver.
Kami menyadari memang tak banyak yang akan ditemui sepanjang jalan di Cilegon—mengingat ini adalah rute industri. Namun perjalanan terus kami lanjutkan demi mencecap keindahan Teluk Kiluan.
!break!
Sekitar pukul delapan malam kami memasuki Kota Cilegon dan menemui banyak pasar bertebaran. Sudah empat jam kami lalui di atas motor, sejauh ini tidak ada masalah ditemui. Performa kendaraan yang dinaikipun semua berjalan baik.
Jarak antara Jakarta hingga Cilegon sekitar 107 kilometer, jika dalam keadaan lancar tanpa hambatan dapat ditempuh dua hingga tiga jam. Sayangnya perkiraan itu meleset jauh dari kenyataan yang kami hadapi. Mungkin karena semerawutnya lalu lintas yang harus kami hadapi menjadi alasan lamanya melewati rute Jakarta - Cilegon.
Barulah sekitar pukul setengah sepuluh malam kami berada di Pelabuhan Merak. Tanpa waktu lama kamipun memasuki kapal menuju Pelabuhan Bakaheuni. Kini tak perlu khawatir kebingungan di Pelabuhan Merak, semua petunjuk cukup jelas. Seperti jalur bagi pejalan kaki, motor, mobil, bahkan sepedapun dijelaskan dengan baik.
Setelah memarkir motor di dek kapal, kami menuju lambung kapal. Kapal yang membawa kami ke Pulau Sumatera ini cukup baik fasilitasnya—walaupun tercium bau, sampah, dan pedagang liar masih dapat dijumpai. Tapi cukup layak untuk membawa kami menuju Bakaheuni.
Fasilitas di kapal yang dapat ditemui seperti kafe, tempat beristirahat menggunakan pendingin udara pun tersedia. Kami memilih melepas lelah di ruangan VIP, cukup membayar delapan ribu rupiah dapat menikmati dinginnya AC dalam kubikel. Di atas kapal ini tidak ada kata gratis, untuk charge ponsel Anda akan dikenakan biaya lima ribu rupiah.
Intinya, saya rekomendasikan untuk backpacker yang suka petualangan wajib mencoba ke Pulau Sumatra menaiki kapal dari Pelabuhan Merak.
Anda akan menemukan aktivitas tak biasa seperti kesibukan mengangkut bahan baku ke dalam kapal hingga pabrik-pabrik di Serang. Interaksi jasa pelayaran pun menyimpan cerita menarik, Anda harus melihat dan merasakan sensasi berwisata menaiki kapal.
!break!
Kembali pada perjalanan saya menuju Teluk Kilauan. Sekitar pukul 12 malam kami baru tiba di Pelabuhan Bakaheuni. Malam sudah larut dan tidak dapat menemukan penginapan di sekitar Bakaheuni, akhirnya kami putuskan menuju Tanjung Karang.
Sayangnya perjalanan kami kembali terhambat. Kali ini bukan karena minimnya tertib lalu lintas melainkan perbaikan jalan. Kemacetan yang ditimbulkan akibat pengaspalan mencapai 20 kilometer. Terpaksa lagi-lagi kami harus memecah formasi, bahkan kali ini harus menaiki bahu jalan.
Untungnya selepas pengaspalan jalan tak ada kendala berarti. Bermodalkan Global Positioning System (GPS) kami pun menemukan penginapan di Tanjung Karang. Saat itu subuh, pukul tiga dini hari. Kami kembali berkesempatan merebahkan badan setelah hampir dua belas jam menunggangi motor sport Yamaha. Esok hari kami pun lanjutkan perjalanan menuju Teluk Kiluan.
Walau tampaknya berat dan melelahkan, selalu ada hal yang menarik dapat saya petik dalam setiap perjalanan. Menurut saya, destinasi bukan sekadar tujuan akhir pada suatu tempat. Melalui sebuah pelancongan kita dapat menumbuhkan kedewasaan, itulah sebuah esensi warna perjalanan. Kita pun harus mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi yang tak terduga.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perjalanan National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler ini terselenggara berkat kemitraan erat dengan Oli Yamalube, Tabloid OTOMOTIF, dan Tabloid MOTORPLUS.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR