Sebentar lagi musim hujan tiba. Seperti lazimnya, banjir akan melanda beberapa wilayah ibu kota Jakarta. Selain banjir yang menjadi rutin dan seolah diterima sebagai ”takdir” itu, pemandangan yang juga lazim ditemui adalah pengguna sepeda motor yang ramai-ramai berteduh di bawah jembatan layang.
Terkadang para peneduh itu bahkan menutup ruas jalan sehingga menimbulkan kemacetan panjang. Hujan menjadi pembenar tindakan memblokade jalan. Sudah tahu motor tanpa atap, musim hujan pula, kenapa tidak menyiapkan jas hujan?
Seperti para pengendara sepeda motor, banyak pejalan kaki berteduh di emperan bangunan atau halte, menunggu hujan reda. ”Kebandelan” orang Indonesia itu agaknya sudah sejak lama sehingga orangtua kita dulu kerap mengingatkan agar sedia payung sebelum hujan.
Ketidakacuhan orang Indonesia dengan kondisi cuaca bisa dilihat dari ketidakpopuleran tayangan ramalan cuaca. Bahkan, meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika rutin memperbarui prakiraan cuaca di lamannya, sangat jarang orang Indonesia mengaksesnya sebelum bepergian.
Itu berbeda dengan masyarakat Jepang yang dikenal rajin memelototi prakiraan cuaca. Sebelum janji bertemu, terutama jika kegiatannya di luar ruang, mereka pasti mengecek berapa suhu hari itu, apakah terik, hujan, atau bahkan bakal datang badai. Prakiraan cuaca pun menjadi salah satu siaran paling populer di Jepang sehingga berulang kali disiarkan.
Orang Indonesia yang baru tinggal di Jepang, yang masih malas melihat prakiraan cuaca, cukup mengintip dandanan tetangga mereka saat berangkat kerja untuk mengetahui kondisi cuaca hari itu. Jika orang-orang Jepang membawa payung, mantel, atau sepatu bot, sekalipun suasana pagi di musim panas cukup cerah, percayalah bahwa pada siang atau sorenya pasti akan turun hujan.
Bagi orang Jepang, tak ada alasan membatalkan janji atau terlambat karena hujan. Bukankah hujan terjadi sejak dulu? Apa gunanya diciptakan payung dan jas hujan? Bukankah sudah ada prakiraan cuaca?
Cenderung pasrah
Sebaliknya, di Indonesia, hujan menjadi alasan paling mudah diterima, selain kemacetan, untuk terlambat atau bahkan menunda acara penting. Masalah sedia mantel atau payung sebelum hujan itu barangkali soal sepele, tetapi mencerminkan ekspresi kebudayaan kita dalam merespons alam.
Bagi orang Jepang, alam bukanlah alasan menghentikan kegiatan. Fenomena alam yang kerap rutin harus disiasati. Itulah gunanya teknologi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia, alam seolah tak perlu disiasati. ”Kalau hujan enggak jadi, ya” menjadi istilah yang populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Seperti didefinisikan Kroeber dan Kluckhohn (1952), manusia bisa dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan cara pandangnya terhadap alam. Pertama, kelompok tradisional yang ditandai sikap tunduk dan pasrah terhadap alam. Kedua, kelompok transformasi, yaitu yang berusaha mencari keselarasan dengan alam. Ketiga, manusia modern yang berhasrat menguasai alam.
Atas dasar tipologi itu, Koentjaraningrat (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional dan sebagian kelompok transformasi. Jadi, sekalipun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah terhadap alam. Mereka akan menunggu alam bekerja dan malas menyiapkan diri menghadapinya.
Tak mengherankan jika mitigasi bencana—yang bisa dimaknai upaya menyiapkan diri menghadapi risiko bencana—tidak menjadi prioritas. Survei Litbang Kompas (2011) terhadap 806 responden di enam kota di Indonesia menunjukkan, tak lebih dari 10 persen responden sadar bahwa risiko bencana dapat dihindari atau dikurangi.
Dengan alasan sama, kawasan yang pernah dilanda bencana alam selalu dihuni kembali, seperti pesisir Aceh dan Pangandaran, Jawa Barat, yang pernah dilanda tsunami. Bencana dianggap sebagai takdir dan manusia dianggap tak punya daya menolaknya!
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR