Di bastion barat laut benteng itu terdapat penjara, namun Dipanagara tidak pernah ditempatkan dalam penjara—bahkan selama pengasingannya di Batavia, Manado dan Makassar. Meskipun Hindia Belanda menjulukinya sebagai pemberontak, Sang Pangeran diperlakukan sebagai tawanan terhormat.
Pasukan kavaleri yang mengangkut Dipanagara dan rombongannya melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di Semarang pada Senin malam, 29 Maret 1830. Selama seminggu Sang Pangeran menginap di Wisma Residen di Bojong—kini rumah dinas Gubernur Jawa Tengah.
Benteng tempat Sang Pangeran dan rombongannya bermalam itu merupakan tinggalan VOC. Semasa Dipanagara lahir, Fort Ontmoeting direnovasi secara besar-besaran pada 1784-86, sehingga menemukan bentuknya seperti saat ini.
Nama benteng itu mengabadikan warisan sejarah untuk Vorstenlanden, tanah raja-raja Jawa. Pada 1746, Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron von Imhoff—asal Jerman—melakukan kunjungan inspeksi ke Jawa untuk mengetahui keadaaan pesisir Jawa. Bersama Susuhunan Pakubuwono II, Sang Gubernur melakukan pembicaraan serius tentang kemungkinan hadiah tanah yang dijanjikan Susuhunan di Pantai Utara. Hadiah tersebut sebagai konsekuensi Perjanjian Ponorogo 1743 karena jasa baik VOC dalam memadamkan “Geger Pacinan”, pemberontakan orang-orang Cina yang meluas hingga ke Jawa.
Pertemuan tersebut terjadi pada 11 Mei 1746 atau sekitar seminggu sebelum berkobarnya Suksesi Perang Jawa III. Perebutan kekuasaan di Jawa tersebut berakhir dengan terbelahnya Mataram menjadi dua bagian pada 1755: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Meskipun belum lahir, Dipanagara tampaknya tahu soal peristiwa gemuruh suksesi di Jawa Tengah bagian selatan ini.
Pertemuan dua petinggi berbeda kebangsaan itulah yang menginspirasi nama benteng tersebut menjadi “Ontmoeting” yang bermakna “Benteng Pertemuan”.
Kini, Fort Ontmoeting telah “berdandan” dan digunakan sebagai Balai Pertemuan Polisi dan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah—mungkin masih menyimpan semangat dari nama sejatinya. Sayangnya, masyarakat umum sulit mendapatkan akses masuk ke bangunan bersejarah ini.
“Namun sekarang kondisinya sudah berubah,” ujar Soetikno dengan masam. “Itu sudah menjadi pro-kontra.” Kemudian dia memberikan alasan dari pernyataannya, renovasi benteng beberapa tahun lalu telah mengubah keasliannya. Kulit dinding yang awalnya dari campuran kapur dan batu bata halus telah dikupas semua dan berganti plester semen, demikian ungkap Soetikno. “Padahal menurut aturan harus dikembalikan sesuai bahan-bahan aslinya.”
Dari jendela lantai atas rumah komandan, Soetikno menunjuk halaman tengah benteng. “Granit-granit orisinal dan terakota sudah habis diganti keramik,” ujarnya. “Kusen dan daun pintu diganti tanpa memperhatikan benda cagar budaya semestinya.”
“Apapun yang terjadi kita tetap berupaya, bagaimana bangunan itu bisa difungsikan sebagai museum—syukur bisa dikembalikan seperti semula,” ujar Soetikno. “Kita melihat sisi jalan ke arah sana.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR