Paduan perkusi tradisional Osing dan jazz membuka pergelaran Jazz Ijen yang diadakan di Paltuding, di kaki Gunung Ijen, Jawa Timur, Sabtu (8/11) lalu. Di tengah lebat hutan, Jazz Ijen benar-benar mampu mengubah kesunyian menjadi keramaian.
Inang Noorsaid, Jalu Gatot Pratidina, dan kawan-kawannya mengawali pentas dengan komposisi jazz fusion yang rancak, tak lupa mereka membawa serta perkusi tradisional Osing. Musik itu membakar semangat penonton yang sejak pagi datang khusus menonton Jazz Ijen.
Di konser itu, lagu Jawa legendaris ciptaan musisi Solo, Anjar Ani, Yen Ning Tawang Ono Lintang, turut mengalun dibawakan oleh Imaniar. Lagu itu menyita perhatian para petambang di Ijen yang mengaso di pojok lapangan Paltuding.
Berpadu dengan musik lokal, jazz ternyata menyatukan selera penonton dari berbagai lapisan. Jazz Ijen yang digelar pada Sabtu lalu hanya punya persiapan kurang dari dua pekan. Para aartis pendukung, diundang dadakan.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memang merangkul musisi untuk tampil di Jazz Ijen guna mempromosikan kawah Ijen. (Lihat pula: Semburat Api Biru Ijen yang Mendunia)
"Apa urgensinya menggalang dana di kawasan konservasi yang baru terbakar?"
Jazz itu juga untuk misi kemanusiaan dan gratis. Panitia hanya menyodorkan sumbangan PMI mulai dari 10 lembar hingga 100 lembar. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, menggalang aksi solidaritas sosial lebih mudah dilakukan dengan menggelar konser musik.
Dengan misi sosialnya, Jazz Ijen layaknya sebuah paket komplet. Hanya satu persoalan yang mengganjal, yakni persoalan konservasi.
"Apa urgensinya menggalang dana di kawasan konservasi yang baru saja terbakar?" kata Ari Restu, Koordinator Banyuwangi\'s Forum for Environmental Learning.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah V, yang menaungi Ijen, Sunandar Trigunajasa, mengatakan konser di kawasan cagar alam seharusnya tak dilakukan. Itu menyalahi kata konservasi yang tersemat di kawasan itu, tuturnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR