“Dua ribu lima ratus.” Seema mengangguk. “Oke. Sudah semua? Saya tidak tahu apa-apa tentang unta, lho.”
“Yah, lebih baik untanya sudah dikebiri.”
“Oh ya. Dikebiri. Tentu saja.”
“Terima kasih, Seema.”
“Sama-sama, Paul.”
!break!Beberapa hari berselang, saya membeli dua unta jantan berusia lima dan tujuh tahun, untuk mengiringi langkah kaki saya ke luar Arab Saudi. Mereka saya temukan di pasar ternak dekat garis awal saya di Jazirah Arab, kota pesisir Jeddah. Lebih tepatnya, Fares dan Seema mencarikan saya mereka. Debu dan kotoran hewan di mana-mana. Para pemilik ternak berteriak-teriak dari sebidang tanah berpagar reyot. Selamat datang kembali, perasaan nyaman.
Penjual-penjual di sini adalah orang Sudan yang senang melamun. Kami tawar-menawar di dalam kemah terpal; total dibutuhkan 14 gelas teh untuk menuntaskan transaksi. Saya curiga, pembelian ini menyelamatkan dua unta tersebut dari takdir yang lebih kejam dibanding menggotong cadangan kaos kaki saya merandai gurun Nefud; bulu mereka menggumpal oleh cat kuning yang dicorengkan penilai daging dari gudang ternak pelabuhan. Keesokan harinya, untuk merayakan keberhasilan ini, saya naik gyrocopter memutari langit Jeddah.
Apa itu gyrocopter? Wajar bila Anda bingung dan bertanya.
Gyrocopter adalah persilangan antara pesawat dan helikopter. Sebelumnya saya tak tahu mesin jenis ini masih ada. (Potret Amelia Earthart yang berpose di sebuah gyrocopter seketika mencuat dari timbunan memori.) Namun, di Jeddah, ada sebuah klub yang menerbangkan gyrocopter terakhir keluaran Jerman. Pengelolanya adalah teman Saudi saya, Kolonel Dokter Mubarak Swilim Al Swilim. Mubarak adalah Wakil Presiden Arab Air Sports Federation dan jawara terjun payung di seantero negara-negara Islam, sekaligus satu dari dua warga Saudi yang pernah terjun payung di atas Kutub Utara. (Apakah dinginnya tidak menusuk tulang? tanya saya. Tidak, tidak, jelasnya. Setelan panas khusus yang dikenakannya malah bikin berkeringat.)
!break!“Anda perlu melihat rute Anda dari atas,” usul Mubarak. “Sudah lama sekali tak ada orang yang meninggalkan Arab Saudi dengan berjalan kaki.”
Yah, tentu saja itu benar. Maka saya pun mengenakan earphone berisi gel dan menaiki gyrocopter, mengarungi awang-awang Jeddah.
Arab Saudi merupakan negara yang luas dan rumit. Mahamodern sekaligus kuno. Tradisional namun senang menjajal hal baru. Arkeologinya berakar amat dalam—semenjak migrasi awal Homo sapiens ke luar Afrika—namun, di tengah jernihnya udara gurun, masa lalu dan masa kininya tumpang tindih. Menyentuh hati musafir. Di sini, kita mampu menempuh berabad-abad masa dalam satu hari saja.
Di sepanjang rute yang saya rencanakan ke Timur Tengah, kota-kota kecil dengan kompleks arsitektur batu karang bernapaskan Islami, berjejalan pula kota-kota instan senilai miliaran dolar yang didesain untuk menampung dua juta orang. Jalur kereta supercepat ditempatkan di dekat jalan antik Haj yang dahulu dilewati maharaja dan rombongan pengiring yang terdiri dari 15.000 unta berhias. Penentu urutan DNA bermutu tinggi bersenandung nun jauh di sebuah universitas di sekitar rute jalan saya.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR