11 Agustus 2013
Dekat Thuwal, Arab Saudi, 22°7\'33" N, 39°4\'23" E
“Dengan memahami bahwa mobil telah menjadi prostetik, dan meski prostetik biasanya digunakan untuk kaki dan tangan yang cedera atau diamputasi, otoprostetik ditujukan untuk tubuh yang cacat secara konseptual atau dilemahkan oleh kreasi dunia yang skalanya tak lagi manusiawi.”
—Rebecca Solnit, Wanderlust: A History of Walking
Mohamad Banounah sedang kesakitan.
Ia meringkuk di bawah kelambu sambil memegangi pinggangnya. Sudah lewat jam satu pagi. Sang surya mulai menyulut ketelnya dengan hidrogen di sisi jauh Bumi. Di atas kepala kami, rasi bintang membakar sejuk bak makhluk biru-kehijauan bawah laut.
“Kembalilah tidur,” desah Banounah, mengusir saya dengan lemah. “Saya baik-baik saja.”
Namun teman seperjalanan saya dari Saudi itu tidak baik-baik saja. Matanya tampak sayu di bawah pendar senter saya. Ia mengaku, nyerinya seperti ditikam pisau. Ia nyaris tak mampu berdiri. Maka, penyedia logistik kami, Farhan Shaybani, menyiapkan kendaraan bantuan. Kami tergopoh-gopoh membangunkan Awad Omran, pengurus unta kami; ia harus menjaga kemah. Saya dan Farhan pun melarikan Banounah ke rumah sakit.
Dari jok depan, saya menoleh dan mengamati teman saya: lelaki berkepala plontos yang gigih dan keras kepala, tergolek lemah di atas peranti kemah ekstra seberat ratusan kilogram. Ada gulungan karpet Persia besar yang dijejalkan ke mobil. Ada kantung tidur tambahan. Ada empat atau lima kursi safari lipat, perlengkapan minum teh lengkap, dua tenda tak berguna, empat kompor kemah nan serasi, serta dua peti besar dan misterius yang mungkin berisi batang logam atau entah apa.
Intinya, perkakas superlengkap yang diboyongnya melintasi gurun pasir. Banounah masih bisa tersenyum di tengah kesengsaraannya. (Di bawah sorot lampu jingga jalan raya yang terang benderang, wajahnya kadang terlihat, kadang tertutup bayang-bayang.) Ia tahu betul, bagasinya membuat saya geregetan. Saya pernah menentang keras niatnya untuk membawa mobil bantuan. (Ini jalan kaki—saya menceramahinya di Riyadh—bukan balapan Paris-Dakar.)
Namun, GMC Yukonnya yang babak belur dan saya anggap penghinaan terhadap kecakapan unta-unta saya, bahkan pernah saya perintahkan untuk dibawa pergi selama berhari-hari, kini malah menyelamatkannya. Meringankan deritanya. Menolongnya. Mungkin juga menyelamatkan nyawanya. Banounah terbukti benar.
Kami memasuki kota di waktu malam. Jalan-jalan lengang dan toko-toko sudah tutup. Banounah muntah di pinggir jalan. Di pos Sabit Merah, saya menemaninya naik ke dalam ambulans. Tubuh Banounah terpental-pental di usungan. Disusul lampu besar mobil Farhan.
Kenapa pula saya melakukan ini? Kenapa Banounah saya ajak berjalan menyongsong kemalangan?
Mungkin demi suatu pemahaman. Demi mengangkut otak saya ke zaman Pleistosen. (Pola pikir pemburu Afrika purba yang jejak langkahnya tengah saya runut kembali.) Demi menggulirkan kisah-kisah. Demi melihat, menyimak, berpikir, dan lain sebagainya. Namun juga, harus diakui, karena suatu dosa kecil: pandangan aneh yang diserap dari Transcendentalis abad 19 (Thoreau: “Kita harus keluar dari jalan tersingkat demi gairah mengejar petualangan abadi dan tak untuk kembali; bersiaplah mengirim pulang hati kita yang telah diawetkan sebagai relikui dari kerajaan terasing kita.”) Atau dari penyair legendaris. (Basho: “Dengan sehelai daun/hendak kuseka tetes-tetes air/dari matamu.”) Atau dari impian yang hampir terlupakan, berakar dari pagi-pagi masa kecil yang dihabiskan di bawah gunung api sebiru kaca di dataran tinggi Meksiko tengah. Dijejali kejadian-kejadian kebetulan dan objek-objek temuan, ibarat tas kain berisi rongsokan yang menyenangkan, isi kepala saya tak jauh bedanya dengan mobil Banounah.
Dokter Sudan di rumah sakit ER mengalirkan larutan garam ke pembuluh nadi Banounah. “Teman Anda,” ia menenangkan saya, “cuma terkena dehidrasi.” Namun saya tidak setuju. Masalah sesungguhnya adalah gaya jalan kami yang tidak klop.
Saya tipe pejalan yang senang berpindah-pindah tanpa urutan yang pasti. Saya mengambil jalan berliku. Saya berhenti. Saya menikung. Saya menulis di tanah dengan kaki. Banounah, sebaliknya, mengutamakan misi—jalan langsung. Ia mantan tentara. Ia berderap pelan namun bertekun pada sasaran: menuju limun di mini-mart tepi jalan atau koordinat GPS tertentu. Dalam segala keadaan, berjalan dengan partner yang tidak selaras dengan irama dan langkah dasar Anda bukanlah perkara mudah.
Lebih lambat ataupun lebih cepat—itu tidak penting: memaksakan kehendak langkah kaki bakal melemahkan kedua pihak. Selepas 30.000 atau 40.000 sekian langkah kaki—rata-rata 40 kilometer sehari—friksi antara dua gaya jalan ini dapat menghancurkan salah satu atau keduanya. Tendon cedera. Sambungan sendi terganggu. Tubuh berontak.
Gambaran terbaik dari efek ini tertuang dalam suatu kisah—bukan tentang berjalan kaki, melainkan penebang kayu di hutan Montana seabad silam. Saat mendorong dan menarik di kedua ujung gergaji sepanjang 1,8 meter, para pekerja yang mampu memadankan gerakan otot mereka dengan tepat atau cepat merasa lelah, menegaskan:
“Ketika menggergaji, hasilnya akan indah bila Anda mampu bekerja sama dengan irama yang sama—kadang Anda melupakan apa yang sedang Anda kerjakan dan hanyut dalam abstraksi gerakan dan kekuatan. Namun saat aksi menggergaji itu tidak seirama, bahkan untuk sekejap saja, akibatnya ialah gangguan mental—atau sesuatu yang jauh lebih mengganggu. Seolah hati Anda tidak sedang berfungsi dengan benar.”
Lampu yang berpendar di ruang tunggu rumah sakit terkesan dingin. Namun saya mendengar para perawat Filipina mulai tertawa-tawa. Pasti karena Banounah dan gurauan vulgarnya. Semangat hidupnya memang tak tertandingi.
!break!Selain penulis dari satu-satunya panduan bertahan hidup di padang gurun dalam bahasa Arab, Banounah juga ahli reptil dan amfibi amatir, pengumpul kisah-kisah rakyat Badui, arkeolog awam, dan fotografer alam liar yang berbakat. Semasa berkelana, ia pernah digigit di jari oleh Carpet Viper (spesies ular yang paling sering menewaskan manusia), disengat kalajengking, dan patah kedua pergelangan tangannya karena jatuh dari gunung. Bidang besar di kulitnya juga pernah terkelupas karena terseret melintasi gurun—selagi terikat pada parasut lama—di belakang mobil berlaju tinggi yang dikemudikan anak remaja seorang teman. Ia bergabung dengan Perjalanan Keluar Nirwana tiga bulan pasca-operasi kandung empedu besar.
“Paul, ada masalah besar di sini,” katanya saat saya pertama meneleponnya dari Afrika untuk membahas logistik perjalanan lintas Arab Saudi.
Saya terdiam, menyiapkan diri.
“Nama Anda,” ia melanjutkan. “Dalam bahasa Arab artinya air kencing.”
Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal hampir semenit penuh.
Berjalan itu bagaikan bahasa. Mirip dengan mayoritas ideologi, teologi, dan kosmologi: gagasan yang dimengerti di suatu tempat. Infleksi, dialek, dan ragam gaya jalan yang tak terbilang banyaknya, akan datang dan pergi di sepanjang rute saya. Berapa banyak taksonomi yang akan saya arungi di seluruh dunia? Mampukah gaya jalan saya sendiri bertahan?
Banounah, seperti 83 persen orang Saudi yang hidup di kota, tak mampu berjalan tanpa mobil bantuan. Jadi, Yukon beban yang fantastis dan disopiri konco karibnya, Farhan, akan terus mengiring langkah kami. Saya akan terus menggerutu dan, suatu waktu, mengirimnya pergi selama berhari-hari. Dan Banounah, yang berjalan jauh di belakang, akan terus menghentikan orang Badui yang lewat dengan pikap berdebu dan meminta mereka mengirimkan pesanannya. Beberapa jam kemudian mereka kembali, di kemah tengah hari kami, dengan berpiring-piring ayam dan nasi dari restoran cepat saji, lalu Banounah akan tergelak melihat keterkejutan saya. Ia asyik mencari makanan, berburu dan mengumpulkan. Dibanding saya, lebih dekat Banounah dengan pengelana Zaman Batu yang pertama menemukan dunia.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR