7 November 2012 yang jatuh pada hari Rabu, merupakan hari pertamaku beraktivitas di desa ini. Agenda hari itu adalah pisah-sambut Pengajar Muda angkatan III dengan Pengajar Muda angkatan V di sekolah. Tidak pernah aku bayangkan seperti apa acara yang akan diselenggarakan oleh penduduk dan majelis guru di sini. Sebagai warga baru, aku hanya menjalani semua acara sesuai dengan yang sudah dipersiapkan.
Sesampainya di sekolah, acara tersebut belum dimulai sehingga aku gunakan untuk berkenalan dengan guru-guru dan warga sekitar satu per satu agar dapat mengingat nama dan wajah orangnya.
Walaupun terkendala dengan bahasa, sedikit banyak aku paham apa yang mereka perbincangkan. Semua warga di desa ini mayoritas menggunakan bahasa Melayu dalam interaksi kesehariannya. Bahasa yang digunakan seperti Ipin dan Upin, tokoh kartun dari Malaysia yang digandrungi oleh anak-anak Indonesia
Hal pertama yang membuatku jatuh hati pada mereka adalah keramahan dan keterbukaan para warga. Semua kekhawatiranku mendadak luntur menerima sambutan ramah dari mereka. Dulu, aku berpikir bahwa warga di Bengkalis begitu sombong. Tetapi hari ini aku membuktikan sendiri bahwa mereka begitu rendah hati, penuh keramahan, dan sangat menghargai pendatang baru.
Mendadak pikiranku melayang, memadupadankan kesamaan yang aku rasakan ketika itu dengan kondisi masyarakat Jawa pada umumnya. Di antara keduanya, ternyata memiliki banyak kesamaan. Pribadi yang ramah, rendah hati, dan sangat apresiatif terhadap pendatang adalah beberapa ciri masyarakat dan budaya yang tumbuh di Nusantara.
Banyak dari mereka mencoba mengenal siapa aku—budaya dan kebiasaanku. Aku pun tak kalah ingin mengetahui banyak hal tentang warga di sini agar aku bisa segera menyatu dan beradaptasi dengan lingkungan baruku ini.
Untuk mempersiapkan acara ini, ternyata semua warga desa bekerja sama, bergotong-royong agar acara bisa berjalan dengan lancar. Semuanya ikut andil dalam acara ini. Setiap kepala keluarga berpatungan demi terselenggaranya acara ini.
Bagi mereka, acara tersebut adalah salah satu ucapan syukur dan apresiasi atas dedikasi Asnoer, Pengajar Muda angkatan III, selama setahun di desa mereka.
Acara sebentar lagi akan dimulai. Aku diajak Bang Noel, panggilan Asnoer, ke sebuah rumah warga di belakang sekolah. Ternyata di sana sudah disiapkan satu set baju kurung Melayu untuk dipakai Bang Noel di acara tersebut.
Wah, benar-benar baik sekali masyarakat di sini, segalanya benar-benar dipersiapkan, dalam hati aku berkata.!break!
Tak lama setelah Bang Noel berganti pakaian, rupanya aku pun diminta berganti baju kurung yang ternyata juga sudah disiapkan.
Inilah pengalaman pertamaku memakai baju kurung khas masyarakat Melayu ini. Kami berdua bak pengantin saja, gumam dalam hati ini.
Setelah kami berdua selesai dandan dengan baju kurung Melayu, kami bergegas menuju sekolah. Ternyata kami diarak oleh seluruh siswa dan warga mengelilingi rumah warga sampai ke sekolah, dengan diiringi oleh grup pemain kompang (sejenis alat musik pukul seperti rebana).
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR