18 September 2013
El Reis, Arab Saudi, 23°32\'21" N, 38°33\'06" E
Banounah tak lagi berjalan lebih jauh bersama kami. Tongkat jalannya sudah diletakkan. Topi tentaranya sudah digantung.
Ia tak akan berjalan mengiring kami ke tapal batas Yordania. Ia tak akan menyusuri jalur lama Haj dari Sham atau menyaksikan reruntuhan benteng-benteng Utsmaniyah yang ambruk bagai gigi cokelat busuk di atas bukit-bukit panas—dan bahwa mereka tidak melindungi apa pun selain lintasan angin panas. Angin yang menerbangkan setan debu yang berputar-putar di atas dataran mahaterik. Angin puyuh yang dijuluki sebagian orang djinn. Ia tak akan melintasi wadis di mana kuburan-kuburan orang Nabatea dipotong menjadi jurang batu yang menonjolkan rona merah menyala pada awan-awan saat matahari melingsir. Ia tak akan menjejak tempat di mana Musa pernah melangkah dengan kaki kering ke pantai-pantai Arabia sesudah membelah Laut Merah.
Mohamad Banounah, teman dan pemandu saya dari Saudi, harus menjalani perawatan intensif karena komplikasi dari operasi terdahulu.
Ia telah berjalan sejauh 386 kilometer dengan hernia yang bersarang di perutnya.
“Saya tak tahu bagaimana ia bisa bertahan selama ini,” ujar dokter Mesir di rumah sakit tempat kami memeriksakan Banounah. Ia menggeleng-geleng takjub. “Ia pasti terus didera rasa sakit. Ini gangguan yang serius.”
Banounah mantan tentara. Ia terlatih menyembunyikan rasa sakitnya, dan kali ini, kebiasaan buruk itu merusak kesehatannya. (Kapan tidak?) Dan ekspedisi ini, perjalanan yang absurd ini, jalan kaki abadi ini, mulai mengitari topografi yang familier dan melankolis, lembah sungai yang berbukit-bukit, bala pertemanan baru yang terjalin dan yang ditinggalkan: orang-orang terkasih melambaikan tangan, sebelah tangan terangkat menyampaikan salam perpisahan ke cakrawala. “Kita tim yang hebat,” tegas Banounah dengan suara parau, menggenggam tangan saya erat-erat di rumah sakit. “Betul, kan?”
!break!Apa yang bisa dikatakan mengenai lelaki hebat ini?
Bahwa kondisi medisnya diperparah oleh keriangannya yang terlalu heboh? (Dalam masa pemulihannya kini, para dokter mewanti-wanti bahwa luka bekas operasi sebelumnya mungkin tidak sembuh sempurna karena tawa Banounah terlalu dalam dan terlalu keras. Intinya, tak terkendali.)
Ataukah bahwa ia bak perpustakaan berjalan yang menyimpan adat dan pengetahuan Badui yang kini meredup? (Melon gurun atau hadaj yang pahit, bila dibelah dan ditempelkan ke pipi, mampu menyerap dahaga dari tubuh kita.)
Atau bahwa kurangnya kemurahan hati merupakan satu-satunya penyulut amarahnya yang meledak-ledak? Ketika seorang pemilik restoran, yang menatap langsung pada saya, melarang kami masuk ke kedai makannya—mungkin karena bau badan kami yang mengerikan dan juga fanatisme anti-orang asing—Banounah mencekal pundaknya dan mengajaknya bicara empat mata di trotoar. Begitu mereka selesai berbincang, sang empunya restoran berubah jadi malaikat supersopan. Kau bilang apa padanya? Saya bertanya pada Banounah. “Kubilang padanya, ‘Beri kami air dan tempat beristirahat, atau bakal kubenturkan kepalamu ke tembok ini,’” jawab Banounah datar. Sebelum kami angkat kaki dari sana, ia minta maaf pada lelaki yang ketakutan itu karena “seorang Muslim yang baik tak dapat pergi tidur dengan memendam kemarahan pada seseorang. Aku harus membereskannya segera atau aku tak akan bisa tidur dengan damai.”
Banounah berasal dari keluarga Mekah kuno, klan syekh Hejan dan musafir yang berleluhur Nabi Muhammad (pada zaman dhow—kapal layar tradisional Arab—dan kafilah, seorang pitarahnya mengembara hingga ke Maroko). “Saya pribadi yang sederhana,” ujarnya suatu ketika, penuh sesal. “Tidak begitu mendalam. Namun saya disukai banyak orang, ya, karena sederhana seperti ini.” Meski demikian, Banounah terpelajar, kuat, dan bersemangat. Untuk mengisi sore-sore yang panjang, saat kami menanti matahari di bawah naungan ala kadarnya, dituturkannya dengan luwes bagaimana sejarah kesukuan di Arab Saudi masih mewarnai cara negeri ini memandang dunia. Dan ia menyimak keluhan saya yang membosankan—soal merasa terasing secara emosional karena pemisahan gender Saudi yang ketat—dengan sabar dan empatik.
Lalu, ada suatu sore di danau garam Masturah yang panasnya memanggang.
Kami tengah berjalan di bawah silaunya cahaya mentari. Udara bagaikan uap panas—seolah kami bernapas melalui kapas basah. Lalu, tanpa peringatan, kami diterpa gelombang hawa dingin yang mengejutkan, getaran yang bertahan mungkin beberapa detik: dingin, tidak wajar, tetapi indah, bagai membuka dan menutup pintu kulkas raksasa. Saya pikir saya sedang berhalusinasi. Saya lirik teman-teman seperjalanan saya. Awad Omran, pengurus unta dari Sudan, hanya mengangguk mengiyakan dalam diam. Namun Banounah tersenyum lebar sekali. Saya menggumamkan sesuatu tentang mikroklimat, konveksi, dan keajaiban arus udara. Banounah, seperti biasa, terkekeh menertawakan rasionalisme saya. “Kita bernasib mujur, teman-teman!” sahutnya. “Tuhan bersama kita!”
!break!Saya melewatkan bulan Ramadan di kota pesisir Yanbu, menanti Mohamad Banounah pulih dan bergabung lagi dengan kami. Namun ia tak bisa. Ia telah pulang ke rumahnya, di Riyadh. Keesokan harinya, penggantinya, seorang pemuda bernama Ali al Harbi, duduk terlentang dalam kondisi linglung, tampak sengsara dan bermandi keringat di dalam “tungku” pondok gembala yang kami singgahi. Ponselnya berdering. Dalam semenit, ia sudah tertawa-tawa. Ah, tentu saja itu Banounah, yang menelepon untuk mengobarkan semangat kami.
“Ia memuji kita setinggi langit,” kisah Ali. “Ia berjanji bahwa hari ini, ia berjalan mengiringi kita di dalam hatinya. Dan ia yakin bahwa kakekmu, Paul, pasti orang Arab.”
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR