"Walau tak begitu seperti dibayangkan, tapi setahun setelah tsunami, warga kota Banda Aceh mulai percaya akan adanya sebuah harapan," tulisku lagi.
Rumput di halaman Mesjid Baiturrahman, tumbuh menjadi hijau yang indah; bau amis yang dulu terasa di Mesjid baiturrahman, juga tak lagi ada; sungai Aceh yang dulu dipenuhi mayat sekarang kembali mengalir tenang.
Dan, tawa anak-anak sekolah yang bisa tertawa lepas, adalah ukuran lain betapa warga kota ini tidak lagi disibukkan untuk melihat ke belakang...
"Warung kopi yang bisa buka sampai malam, dan orang-orang tak takut lagi akan perang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan tentara Indonesia, adalah kenyataan yang terlihat di kota ini," laporku saat itu.
Ketika itu secercah harapan memang mewarnai Aceh setelah Pemerintah Indonesia dan GAM memilih untuk berdamai.
!break!Melihat ke depan
Setelah liputan itu, saya setidaknya telah tiga kali kembali ke Banda Aceh, dan terakhir adalah saat saya meliput pemilu presiden 2014 lalu dan bertemu langsung bekas pemberontak dan kini menjadi orang nomor satu di wilayah itu.
Walaupun perasaan melankoli sesekali menyelinap muncul, tetapi secara keseluruhan perubahan politik dan perasaan kolektif warga Aceh yang lebih disibukkan melihat masa depannya, ketimbang masa lalunya, membuat suasana muram sepuluh tahun itu pelan-pelan tersapu.
Percakapan di warung kopi, misalnya, saya nyaris tidak pernah lagi mendengar tentang masalah tsunami dan dampaknya. Seorang sahabat dekat di Banda mengatakan, persoalan tsunami dan GAM tidak lagi menarik dibicarakan dan digantikan perkembangan wisata kuliner kopi Gayo.
Saya menyaksikan, para pemimpin, pengusaha, kaum muda dan rakyat biasa di wilayah itu terus berharap untuk kebaikan Aceh di masa depan.
Akhirnya saya berani mengatakan: ada rasa sedih yang tersisa setiap teringat bencana tsunami Aceh, tetapi hidup tidak melulu terserap dengan masa lalu.
Saya yakin sepenuhnya warga Aceh pun telah jauh melangkah ke depan, dan tidak melulu menangisi masa lalunya. Saya pun demikian.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR