Mestinya, para pemimpin dunia yang berkumpul dalam perundingan perubahan iklim di Lima, Peru, Desember 2014 ini telah membaca novel filsafat Jostein Gaarder bertajuk Dunia Anna (Mizan, 2014). Novel berjudul asli Anna: En fabel om klodens klima og miljo (Sebuah dongen tentang iklim dan lingkungan bumi) diterbitkan H.Aschehoug & Co (W.Nygaard) pada 2013.
Novel ini menceritakan pengembaraan batin selama dua hari dari seorang gadis remaja 16 tahun bernama Anna. Anna menyentil hakekat keberadaan manusia sebagai bagian dari penanggung jawab kehancuran alam semesta.
Diceritakan, Anna baru saja mendapatkan hadiah ulang tahunnya. Dia menghayal melalui ritme yang cepat melintasi dimensi waktu, jarak dan ruang. Anna, gadis belia itu digambarkan memiliki kemampuan menelisik jauh ke masa lampau dan terbang jauh ke masa depan.
Dimasa lalu, dia bertemu neneknya bernama Olla. Pertanggung jawaban Olla atas dunia yang kini ditempati Anna adalah sebuah pertanggung jawaban moral yang melibatkan sebuah cincin rubi berusia ratusan tahun. Cincin itu, diklaim sebagai cicin asli Aladin dari dongeng 1001 malam.
Sementara di masa depan, Anna dikejutkan dengan lintasan bayangan Nova, cucunya sendiri. Melalui gadget canggih di tangannya, Anna mengembara ke masa depan. Ia bahkan mampu berjalan-jalan pada sebuah kebun binatang virtual di Amsterdam, kota yang juga menjadi pusat peradilan iklim.
!break!Ketiga generasi ini adalah perwakilan kehidupan alam semesta. Bumi, sebuah titik kecil di jagat raya menjadi saksi kehancuran dirinya sendiri atas ulah generasi-generasi yang mendiaminya. Bumi adalah perwakilan kosmis unik dengan jejak-jejak peradaban yang melancarkan jalan menuju kehancurannya sendiri.
Di masa Anna, dalam usianya yang ke-enam belas pada 12 Desember 2012 (12-12-12), Bumi telah mengalami perubahan yang signifikan. Pencairan es di kutub-kutub bumi telah memicu perubahan Iklim. Norwegia, negara dimana Anna tinggal telah menjadi tepat bagi para pengungsi iklim dari jazirah Arab. Para pengungsi ini mencari tempat hidup baru yang sesuai dengan kebutuhan manusia.
Negara-negara yang dulunya dingin, Norwegia yang diceritakan Jostein, merupakan tempat paling cocok buat para pengungsi iklim itu untuk menetap. Tapi iklim yang terus berubah akibat eksploitasi sumber-sumber minyak bumi serta penggunaannya yang tidak bertanggung jawab telah mengantarkan kehidupan di Bumi pada sebuah kehidupan yang tidak lagi nyaman bagi makhluk hidup.
Lewat kecanggihan teknologi, Anna setiap saat menerima pesan kepunahan salah satu spesies di muka bumi. Melalui internet, Anna berkomunikasi dengan nenek dan cucunya sendiri.
!break!Sebagai sebuah novel, Jostein hanya butuh dua hari menceritakan seluruh isi alam dan perubahannya. Berikut dengan kehancuran dan canggungnya generasi Anna yang terpukau oleh kejahatan kemanusiaan di belahan Afrika, es di kutub yang meleleh, sumberdaya alam yang kian menipis serta punahnya kehidupan liar di Amerika Selatan.
Jostein menjelma ke semua karakter yang dia ciptakan sendiri. Benjamin—seorang psikiater yang anaknya tengah diculik oleh kelompok bersenjata di Afrika—menjadi sahabat Anna dalam pencariannya atas sebuah kehidupan yang ideal. Jostein (dari dalam diri Benjamin) menjadi penganjur atas sebuah kelompok pecinta lingkungan yang melibatkan anak-anak muda.
Jonas yang juga Jostein, si penganjur itu, menjadi otak atas pengelolaan dana lingkungan disenatero jagat melalui kotak-kotak sumbangan, judi dan lainnya. Jostein—melalui Jonas—menyempatkan diri menjadi pengkritik atas kinerja pemimpin dunia dalam perundingan iklim.
Jostein memang pedas, dia tidak ragu menelanjangi para pemimpin dunia yang terus menerus gagal dalam merundingkan nasib generasi dan umat manusia. Dia juga menjadi penghayal yang melampaui kemampuan berpikir manusia kebanyakan lewat pengadilan iklim, dimana para kontributor perusak iklim diadili dalam sebuah sistem pengadilan terbuka.
Novel ini layak menjadi bacaan para pemerhati lingkungan dan perubahan iklim. Tak hanya itu, novel ini semestinya menjadi bacaan seluruh penghuni planet. Lantaran novel ini mengusik kenyataan yang harus dihadapi semua orang dalam meretas kehidupannya.
Kepunahan flora dan fauna, saat ini tanpa disadari telah mulai mengancam keseimbangan ekosistem. Satwa-satwa kunci pada puncak rantai makanan satu per satu sudah mulai hilang dari kehidupan liar. Hal ini menjadi penanda keseimbangan ekosistem sudah terganggu sedemikian hebat.
Dilain sisi, kesadaran atas pentingnya ekosistem terlidas oleh putaran roda ekonomi yang jahat. Hutan-hutan ditebang untuk diambil kayunya. Sementara tanah bekas galian tambang dibiarkan terbuka menjadi hamparan padang pasir sepanas neraka. Sumber-sumber minyak bumi dikuras habis dari sumur-sumur tua dan eksplorasi sumur baru terus berlanjut tanpa hambatan.
Sungguh bumi dalam krisis yang gawat, tanpa disadari. Kekhawatiran Jostein terpampang jelas dari lembaran-lembaran cerita Anna. Bencana alam, perlahan-lahan berubahan menjadi bencana kemanusiaan. Perebutan kekuasaan di dunia—tidak dapat dipungkiri—adalah perebutan atas sumber-sumber kehidupan.
Jostein tidak lagi mengkritik tentang bagaimana populasi manusia membludak sedemikian hebat. Tapi kritik Jostein justru ditujukan pada pola konsumsi dimana keserakahan manusia telah menyebabkan sumberdaya alam berada dalam posisi yang rentan. Cadangan sumber daya alam terkuras demi memenuhi syahwat manusia hari ini, tanpa berpikir tentang apa saja yang dapat kita sisakan untuk penghuni bumi di masa depan.
Tapi siapakah peduli? Siapa yang harus bertindak? Sementara kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh para pemimpin tak lepas dari kepentingan sesaat yang sesat.
Novel ini adalah titik balik sebuah pemikiran baru tentang jagat raya. Di mana bumi adalah bagian tidak terpisah dari kosmis yang sedemikian tak terhingga. Adakah kesadaran itu muncul secara bersamaan? Atau justru kesadaran itu akan muncul ketika bumi sudah tidak sanggup lagi menerima beban dari penghuninya.
Dengan keras, Jostein mengkritik umat manusia di halaman 120. Dia mengatakan "Kita menghancurkan planet kita sendiri. Kitalah yang telah melakukannya, dan kita sedang melakukannya sekarang."
Kritik itu mempertegas kiritik sebelumnya. Pada halaman 66 dia menulis: "Di satu sisi kita adalah bagian dari sebuah generasi yang berhasil mengeksplorasi alam semesta dan memetakan genom manusia. Tapi di sisi lain kita adalah genersi pertama yang melakukan kerusakan alam yang serius."
Lalu, apakah Anna mampu menjadi insirasi gerakan untuk menghentikan segala kerakusan peradaban manusia? Apakah seorang Anna akan menjawab skenario global dalam mencegah peningkatan jumlah gas rumah kaca di atmosfir bumi? Mungkinkah Anna menjadi pahlawan jagat raya yang akan mempertanggung jawabkan segala kehancuran ini kehadapan generasi mendatang? Atau Anna hanyalah sebuah simbol dari semakin menipisyna perasaan umat manusia akan hidup yang berkelanjutan?
Tentunya pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah bagain kecil dari kecamuk pemikiran Jostein. Dia mungkin juga ragu dengan pertanyaannya sendiri, tapi waktu terus berputar.
Perundingan-perundingan tingkat dunia tentang iklim dan lingkungan tentunya tidak menunggu pertanyaan-pertanyaan itu dijawab. Justru kesadaran kitalah yang dituntut untuk menyerahkan kehidupan bumi in kepada cucu dan cicit kita di masa depan.
Anna barangkali hanyalah simbol dari sebuah peradaban yang nyaris hancur. Mungkinkah kita, semuanya yang ada dimuka bumi ini akan berakhir seperti suku Inka di Belize? Atau berakhir sebagai Dinosaurus yang hanya ditemukan fosilnya oleh generasi yang muncul entah berjuta tahun setelah ini?
Perenungan dan penghayatan yang dalam dibutuhkan agar novel ini dapat menyentuh sisi kemanusian kita yang bertanggung jawab. Tanpa itu, kesadaran sebagai titik kecil dari semesta alam tentunya tidak akan muncul. Melalui titik kecil inilah, kita berbuat sesuatu. Sesuatu yang akan sangat berarti bagi kelangsungan kehidupan dari miliaran galaksi dan kenyataan kosmis lainnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR