Berbagai instansi dinilai berlomba-lomba memberikan pernyataan terkait dengan hilangnya AirAsia QZ8501 dan "memanfaatkan" insiden ini untuk unjuk eksistensi.
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Algooth Putranto menilai fenomena berebutnya berbagai pihak di pemerintahan tampil bicara dalam kasus Air Asia menunjukkan tidak paham komunikasi krisis.
"Padahal sudah membentuk crisis center. Semua terpusat. Lha ini tentara, polisi, aparat sipil berlomba ikut berbicara. Harusnya mereka malu dengan AirAsia yang langsung menunjuk Tony Fernandes sebagai narasumber tunggal," ujarnya, Selasa (30/12).
Dalam komunikasi krisis, ujarnya, setelah membentuk crisis center sudah wajib ditunjuk seorang juru bicara yang bertugas mengelola akurasi dan konsistensi pesan yang merespons seluruh kebutuhan informasi internal dan eksternal.
"Dalam hal ini Ketua Basarnas wajib dipuji karena konsisten menanggapi pertanyaan media. Dalam sesi konferensi pers dia terlihat tidak merasa perlu menjawab pertanyaan yang menyebabkan timbulnya spekulasi dan memilih mengumpulkan fakta yang ada," ujarnya.
Algooth membandingkan dengan kecelakaan-kecelakaan pesawat yang terjadi pada pesawat militer. Satu contoh nyata adalah tragedi Hercules C-130 TNI AU yang jatuh di Magetan, Jawa Timur. Seluruh aparat sipil dan militer dapat kompak mengunci mulut.
"Padahal saat itu, pesawat tersebut membawa penumpang sipil yaitu perempuan dan anak-anak. Saat itu media kesulitan mendapatkan pernyataan. Semua kompak diam dan patuh sumber informasi adalah Mabes TNI AU. Kali ini terasa janggal," lanjutnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR