Sejak dibangun tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, lumpur di Waduk Jatiluhur belum pernah dibuang. Padahal sedimentasi salah satu waduk terbesar di Indonesia ini terus meninggi.
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi mengatakan belum mendapat laporan secara detail kondisi sedimentasi di Jatiluhur. Namun pembuangan lumpur tersebut harus dipikirkan sejak sekarang, sebelum terjadi sesuatu yang buruk.
"Kalau sedimentasi terus meninggi, bayangkan sendiri apa yang akan terjadi," tutur Dedi kepada Kompas.com, Minggu (4/1).
Dedi menjelaskan, sedimentasi yang terus-terusan meninggi bisa menambah beban waduk. Jika dibiarkan, dan lumpur mengganggu turbin hingga akhirnya macet serta meledak, maka hanya dalam waktu 15 menit Jakarta terendam.
"Kalau kita lihat kasus Situ Gintung, seberapa besar dampak yang terjadi di sana? Dan kalau Jatiluhur yang bobol, dampaknya akan lebih besar dari itu," ucap dia.
Sebenarnya, Pemkab Purwakarta bisa saja membuang hasil sedimentasi di Jatiluhur. Namun masalahnya ia kebingungan ke mana harus membuang lumpur tersebut. Karena alih fungsi lahan di Karawang dan sekitar Purwakarta membuat lahan untuk membuang lumpur menghilang. "Sekarang banyak apartemen, gedung-gedung bertingkat, tidak ada lahan untuk membuang lumpur," ungkap dia.
Demi memperbaiki kualitas air Jatiluhur sendiri, pihaknya akan menertibkan 20.000an keramba jaring apung (KJA). Namun untuk membuang lumpur, ia masih kebingungan lokasi pembuangan.
Keluhan yang sama disampaikan Dedi ke Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Ia memaparkan, kondisi ini harus segera diselesaikan. Waduk Jatiluhur memiliki potensi air sebesar 12,9 miliar meter kubik per tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.
Di waduk ini, terpasang enam turbin dengan daya terpasang 187 MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun. Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk 242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun), air baku air minum, budidaya perikanan dan pengendali banjir.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR