Hidup bergelimang sampah. Lebih kurang itulah potret ibu kota Jakarta kini. Kota ini memang belum memiliki sistem pengelolaan limbah domestik yang baik dan terpadu. Dari total limbah domestik yang dihasilkan sekitar 10 juta penduduknya, hanya kurang dari 3 persen yang dikelola secara benar.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) domestik baru ada di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Di kawasan itu, air buangan dari dapur, bekas cuci pakaian, dan air mandi (grey water) diolah dan ditampung di Waduk Setiabudi. IPAL di kawasan ini melayani kalangan berpunya.
Adapun sebanyak 16 persen limbah domestik dikelola secara komersial oleh swasta. Sisanya sebanyak 71 persen masih ditangani sendiri oleh warga, yang tentu saja masih jauh dari profesional. Warga biasanya mengolah air limbah domestik bersamaan dengan limbah kotoran (black water).
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Sanitasi Lingkungan BPLHD Jakarta Andono Warih mengatakan, sebagian besar warga masih mengandalkan septic tank untuk pembuangan limbah. Sementara limbah grey water masih lebih banyak dibuang ke badan sungai.
Limbah domestik ini mencemari air sungai di Jakarta. Berdasarkan pemantauan di 75 lokasi di DKI Jakarta pada 2012, tak ada air sungai yang berstatus memenuhi baku mutu baik.
”Sebanyak 70-80 persen polusi air disebabkan limbah domestik karena lebih banyak yang masuk ke selokan besar,” ujar Andono, Jumat (19/12).
Jakarta saat ini baru akan membangun instalasi pengolahan air limbah domestik (sewerage) di 15 zona. Proyek Kementerian Pekerjaan Umum, JICA, dan Pemprov DKI Jakarta ini diproyeksikan selesai pada 2050.
Buruknya pengelolaan air limbah domestik di Jakarta itu bahkan menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK telah memeriksa kinerja tujuh entitas satuan kerja perangkat daerah (SKPD), yaitu BPLHD, Dinas Tata Ruang, Dinas Kebersihan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan, Dinas Pekerjaan Umum, dan PD Pengelolaan Air Limbah Jaya (PD PAL Jaya).
”Audit dilakukan BPK agar ada perbaikan anggaran maupun aturan,” ujar Harwinoko, Kepala Sub-Auditorat DKI II.
Dari hasil pemeriksaan itu diketahui, Pemprov DKI Jakarta belum mengorganisasi pengelolaan limbah domestik secara optimal. Selain itu juga terungkap, Jakarta belum punya peraturan daerah untuk mengatur limbah domestik.
Kepala Subbagian Hukum BPK DKI Gunawan Firmanto berharap Pemprov DKI segera membuat perda dan membentuk lembaga yang bisa fokus menangani limbah domestik.
Ke depan diharapkan penerbitan dokumen rencana tata letak bangunan (RTLB) dan izin mendirikan bangunan (IMB) bisa lebih memperhatikan perencanaan dan instalasi air limbah domestik.!break!
Sumber pemasukan
Ekonom Universitas Indonesia, Aris Yunanto, Selasa (30/12), mengatakan, berbagai masalah terkait sampah di Jakarta susah diurai karena sampah selama ini dianggap sebagai beban.
”Selalu melihat sampah sebagai cost. Padahal, semua limbah itu adalah revenue. Biaya yang dikeluarkan pemerintah adalah modal usaha untuk mendapatkan keuntungan berlipat dari pengolahan sampah secara tepat,” kata Aris yang kini juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Energy Management Indonesia (Persero) di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menurut Aris, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat ini, sampah jenis apa pun, kecuali limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), bisa diolah dan dimanfaatkan.
Di Jakarta, kini rata-rata per hari dihasilkan 6.000-7.000 ton sampah. Jika diolah dengan benar, setiap 3.500 ton sampah bisa menghasilkan listrik yang cukup untuk memasok kebutuhan satu usaha kelas menengah atau kecil.
Listrik dari sampah, seperti di Seoul, Korea Selatan, bahkan dialirkan secara gratis ke rumah-rumah warga yang berada di sekitar lokasi pengolahan limbah.
Agar maksimal dalam mengangkat derajat sampah, Aris mengingatkan perlunya dibentuk badan usaha milik daerah (BUMD) khusus menangani limbah kota. ”Pemerintah pun bisa mendorong profesionalitas pengelolaan sampah dengan membentuk BUMD tersendiri,” katanya.
BUMD ini, lanjut Aris, bertugas mengelola sampah mulai dari pengumpulan hingga pengolahan. Hasilnya mulai dari pupuk organik, konsentrat pupuk, bahan daur ulang, hingga berbagai produk jadi.!break!
Ia menambahkan, tak perlu khawatir soal distribusi penjualan hasil pengolahan sampah. Dengan rantai BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta, berbagai produk pupuk bisa dipasok untuk industri perkebunan atau pertanian. Pupuk olahan sampah bisa turut membantu rekonservasi daerah bekas pertambangan yang kini memicu masalah, seperti di Kalimantan.
Dalam skala kecil, di lingkup kampung, kelurahan, atau kecamatan, pemerintah bisa membuat terobosan dengan membangun unit pengolahan sampah dengan kapasitas sekitar 100 ton.
Warga diajak dan diberi insentif langsung, bisa berupa sejumlah uang tunai pengganti setoran sampah, sehingga terpacu untuk memilah dan mengolah sampah. Cara ini juga efektif untuk menghindari penggunaan incinerator yang Aris yakini lebih banyak efek negatifnya, seperti polusi tinggi.
Dengan sederet aturan yang ada soal pengelolaan sampah dan uang yang dimiliki Jakarta, Aris yakin gagasannya amat mungkin dilakukan. Yang penting, segala upaya dilakukan terus secara konsisten sesuai perencanaan.
Di sisi lain, kampanye terus-menerus soal penggunaan produk daur ulang juga diperlukan agar muncul kesadaran warga.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR