Kapal Sewa Lima melesat di perairan tenang. Jejaknya berupa buih memutih dan memanjang ke batas horizon. Saya tengah berada di haluan kapal. Tujuan kami, gugusan pulau yang menjadi salah satu target pelayaran para penjelajah Eropa pada abad 15 dan 16.
Di peta, Kepulauan Banda nyaris tak terlihat terlebih apabila kita bandingkan dengan pulau besar yang berada di bagian utara, seperti Seram atau Halmahera.
Kapal merapat di dermaga pelabuhan sebuah pulau kecil. Panjangnya sekitar tiga km dan lebar satu km. Saya menatap perairan dangkal Pulau Raun, yang menjadi pangkal pertengkaran antara Inggris dan Belanda di abad 17.
Ratu Elizabeth I dari Inggris segera mengklaim sebagai milik sah atas Run saat penjelajah sebangsa tiba di Kepulauan Banda pada 1602.
Peperangan di Eropa telah mendorong Inggris menyerahkan Run kepada Belanda pada 1665. Dua tahun kemudian, pada Juli, perjanjian damai antara kedua negara yang berkonflik itu menghasilkan suatu pertukaran. Inggris menyerahkan Run kepada Belanda, termasuk satu-satunya benteng di Pulau Nailaka. Sebaliknya, Inggris memperoleh Nieuw Amsterdam (kini Manhattan di New York).
Empat abad telah berlalu. Saya mengamati sekeliling lanskap pulau. Dermaga beton panjang dengan anak-anak kecil berlarian di atasnya merupakan sambutan yang luar biasa indah. Rumah-rumah nelayan yang khas di pinggir pantai mengawali pemandangan awal memasuki pintu gerbang Run. Jalanan sempit dengan hamparan pala menghiasi halaman di setiap rumah.
Perjalanan di pulau kecil yang sarat kisah ini menyuguhkan kejutan semanis nasib pala pada masa jaya. Terselip di antara gugusan pulau, masyarakat Run menyambut tamu dengan kehangatan khas: menyuguhkan es krim buatan sendiri!
Kepulauan Banda menyimpan beragam kisah menarik. Tempat ini menjadi lokasi pengasingan para pembesar negeri. Kekayaan kisahnya mendorong para penulis, juru foto, dan pejalan seperti berlomba menyinggahi. Bagi saya, Kepulauan Banda seperti tak pernah kehabisan memberikan kejutan.
Penulis | : | |
Editor | : | Puri |
KOMENTAR