Kota beringin
Pada abad ke-16, Pangeran Adipati Antakusuma, putra Sultan IV Kesultanan Banjar Mustain Nubillah (1650-1678), ingin memiliki kerajaan. Untuk itu, Pangeran harus berlayar ke barat dan menemui Kiai Gede, tokoh masyarakat yang konon disebut berasal dari Demak.
Pangeran pergi bersama 100 prajurit, keluarga, kerabat, dan sejumlah pusaka Kesultanan Banjar antara lain gong, tombak, dan trisula. Armada kapal-kapal kayu itu berlayar menyusuri sungai-sungai sampai ke Tanjung Pangkalan Batu di tepi Sungai Lamandau yang kini merupakan wilayah administrasi Kotawaringin Hilir, Kotawaringin Lama, dan Kotawaringin Barat.
Di tanjung itu berderet pohon beringin. Kawasan itu subur sebab dilintasi beberapa sungai. Di sana pula, Pangeran menemui Kiai Gede dan mulai membangun kerajaan baru dengan nama Kutaringin (kota beringin).
Di sana, Pangeran membangun keraton yang dinamai Astana Alnursari dan bertakhta sebagai Sultan I Kesultanan Kutaringin, 1673-1696. Karena masih berkerabat dengan Kesultanan Banjar, Kutaringin juga disebut kecabangan Banjar. Kiai Gede diangkat sebagai mangkubumi atau perdana menteri.
Kesultanan Kutaringin mencapai kejayaan di era Sultan VII Pangeran Ratu Bagawan yang berkuasa 1727-1761. Saat itu, sultan mampu membuat aturan yang menghapus tradisi suku asli Kalimantan menaruh jenazah berselimut tikar rotan di tepi jalan atau di bawah pohon ke tradisi penguburan. Selain itu, tradisi mengurbankan manusia dalam ritual suku asli juga berhasil dihapus dan digantikan dengan kurban binatang.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR