Suasana yang tenteram itu bisa ditemui di Dusun Bambu di kawasan Cisarua, Bandung, Jawa Barat. Jauh dari hiruk-pikuk kota besar, kita menemukan sebuah oase untuk melepas penat. Saat pagi dimulai dengan kicauan burung, gemericik air dan desiran angin yang menggoyang rumpun-rumpun pokok bambu.
Lantunan kecapi suling sayup-sayup menyelusup ke bilik-bilik kamar yang menghadap ke hamparan sawah yang menghijau. Di antara pematangnya, rombongan mentok berjalan beriringan. Kicaunya yang ramai mengantar kenangan pada alam Priangan yang teduh.
Udara segar yang penuh hawa murni selalu mengundang rasa lapar lebih cepat. Apalagi, puluhan warung kaki lima yang tertata rapi di pusat jajanan (food court) menguarkan semerbak aneka masakan. Harum bakaran sate, berbaur wangi pempek panggang. Suara penggorengan mi tek-tek beradu dengan suara nyess dari panggangan kue rangi.
Deretan warung ini menyatu dengan Pasar Khatulistiwa, sebuah minimarket yang khusus menjual oleh-oleh tradisional khas Jawa Barat.
Di situ para pramusaji berseliweran membawa nampan-nampan pesanan, yang membuat mata otomatis melirik. Ada nasi timbel, soto bandung, bakso yamin. Ah, begitu banyak pilihan!!break!
Sarang burung
Mari kita masuki ”ruang makan” Lutung Kasarung yang memiliki desain unik. Dari kejauhan, deretan bangunan yang ”bertengger” di atas pohon dan dibalut oleh ranting-ranting kering itu bak sarang-sarang burung raksasa. Antara satu sarang dan sarang lain dihubungkan dengan jembatan kayu yang dirancang melengkung.
Rumah ”sarang” yang dikitari kaca ini membuat pandangan bisa menyapu ke 360 derajat. Di kejauhan, hamparan bunga peacock yang warnanya bergradasi dari semu pink sampai ungu membentuk taman bunga yang berundak-undak. Taman ini bersisian dengan danau buatan yang permukaannya memantulkan bayangan rumah-rumah kayu yang mengelilinginya. Sambil menyeruput bajigur panas yang ditemani pisang bakar, kita bisa melihat lembah di kaki gunung Burangrang dengan sempurna.
Untuk bisa bersantap di rumah sarang ini, biaya sewa per jam Rp 100.000. Relatif terjangkau bagi pengunjung yang ingin merasakan sensasi bersantap di ketinggian. Begitu pintu kaca ditutup, ruangan yang seluruhnya berperabot kayu dan bambu ini seperti kedap terhadap keriuhan di luar.
Menu yang ditawarkan semuanya bisa dipesan dari pusat jajanan dengan harga terjangkau. Somay bandung, misalnya, dihargai Rp 25.000, sate ayam dan kambing Rp 35.000, ketan bakar Rp 12.000, atau soto bandung Rp 40.000.
”Semua pedagang yang ada di food court ini sebagian besar kami ambil dari jajanan tradisional terbaik yang ada di Bandung. Jadi memang melalui proses seleksi. Sebelumnya kami sudah keliling-keliling dulu untuk mencari jajanan mana yang paling disukai orang-orang,” ujar Front Office Supervisor Dusun Bambu Asep Heri.!break!
Untuk semua
Jika memang berniat untuk menikmati keelokan alam Priangan ini dengan lebih tenang, memang sebaiknya tidak datang pada akhir pekan. Resor yang luasnya sekitar 15 hektare ini relatif bisa dijangkau berbagai lapisan masyarakat. Tak mengherankan, pada akhir pekan, tempat ini padat pengunjung. ”Kalau weekend bisa sampai ribuan orang yang datang,” tambah Asep.
Sebagian besar pengunjung datang untuk menikmati fasilitas terbuka yang langka ditemukan di kota besar, seperti jalur trekking, jalur sepeda yang mengitari punggung bukit, kebun stroberi yang bisa langsung dipanen, memberi makan kelinci, atau sekadar menikmati pemandangan dan hawa yang sejuk. Tawa gembira anak-anak yang sibuk berlarian ke sana kemari di arena bermain yang luas mencuatkan kekhasan sebuah tempat rekreasi keluarga.
”Tapi, seandainya ada tamu yang ingin suasana yang lebih eksklusif, kami memiliki penginapan dan camping ground yang privasinya terjaga. Jadi tidak ada orang yang lalu lalang ke sana. Atau bisa juga makan lesehan di saung-saung di pinggir danau, dengan sewa Rp 125.000 - Rp 150.000,” tambah Asep.
Mau mahal atau murah, mau menyepi atau beramai-ramai, kebahagiaan yang didapat tetaplah sama: makan enak dan pemandangan indah...
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR